Nama : Ni Made Anggra Wahyuni
NIM :
10.1.1.1.1.3862
Jurusan : Pendidikan Agama Hindu
Kelas/Semester : PAH A/IV
Mata Kuliah : Siva Siddhanta I
Soal :
1.
Jelaskan proses penyebaran Siva
Siddhanta dari India sampai ke Bali!
2.
Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang
ada dalam Siva Siddhanta!
3.
Jelaskan kristalisasi Siva Siddhanta di
Bali!
4.
Apakah saudara beragama hindu?
5.
Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya
Sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep Siva Siddhanta?
Jawab :
1.
Penyebaran Siva Siddhanta dari India
sampai ke Bali :
Mazab Siva
Siddhanta berawal dari datangnya bangsa Arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu
Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian ada di Iran. Di India Bangsa
Arya bertemu dengan Bangsa Dravida yang telah mengenal ajaran Siva dengan
ciri-ciri seperti bentuk Dewa Siva sehingga diidentik dengan Sivaisme yang
tinggal Timbal Nadu. Ajaran Sivasiddhanta berkembang dari
agama Siva yang sudah ada sejak zamanPra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida.
Agama Siva berasal
dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum bangsa
Arya ada, perkembangan agama Siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan
berbentuk Siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga penikutnya (Subagiasta, 2006 : 7).
Di Indonesia Mazab Sivasiddhanta
datang pada abad ke-4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari Banares
India. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari
pasraman Agastya Madrapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawidu. Di
Indonesia ada juga kerajaan-kerajaan yang menganut paham Siva yang meliputi :
-
Kerajaan Kutai ditandai dengan terdapat
7 yupa dengan huruf Sansekerta, yang menyatakan bahwa Raja Waprekeswara ada
penganut Siva
-
Kerajaan Tarumanegara tahun 400-500 M di
Jawa Barat dengan Rajanya Purnawarman, terdapat tujuh prasasti disebut kebun
kopi.
-
Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah tahun 618-906 M rajanya ratu Sima terdapat prasasti
bahasa sansekerta bergambar Tri Sula, yang melambangkan senjata dari Siva.
-
Kerajaan Sriwijaya adanya perkembangan
Budha Mahayana.
-
Kerajaan Mataram Kuno rajanya Sanjaya
ditandai dengan pendirian Lingga yang disebut Prasasti Canggal.
-
Kerajaan Kajuruan dengan rajanya Dewa
Sima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru.
-
Kerajaan Medang Rajanya Sendok tahun
929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja trimurti.
-
Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya
Kameswara.
-
Kerajaan Singosari tahun 1222-1292
rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan candi.
-
Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya
Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya
Sivasiddhanta.
-
Kerajaan Pajajaran rajanya Jayabhupati
beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabhu Dewata (Subagiasta, 2006 : 13).
Inilah bukti-bukti yang
dapat dilihat bahwa Sivasiddhanta telah mulai berkembang di Indonesia.
Di Bali perkembangan Sivasiddhanta diduga mendapat pengaruh dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya Sivasiddhanta di
Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah
dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapat di Pejeng berbahasa Sansekerta.
Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan materai tanah liat
yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te
mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama
dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas…..ddh….” yang oleh para ahli,
terutama Dr.R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketikan utuh
berbunyi : “Siva Siddhanta”.
Dengan demikian pada
abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekte) Siva Siddhanta telah berkembang di
Bali. Sampai di tulisnya sebuah
prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan
mendalam diyakini oleh raja dan rakyat pada saat itu. Meluasnya
danmendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses
yang panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekte Siwa Siddhanta) sudah masuk
secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.
Bukti
lain yang merupakan awal penyebaran Siva Siddhanta di Bali adalah
ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di Desa Badaulu, Gianyar.
Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siva dari Candi Dieng yang
berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode
seni arca hindu Bali.
Dalam
prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan ada tiga
tokoh agama yaitu : Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siv Nirmala, dan Bhiksu
Sivakangsita, yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara
Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama
tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yakni Hinduisme (sekte Siwa
Siddhanta).
Disamping
itu secara tradisional disebutkan bahwa Agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke Bali dengan para pengikutnya membuka
lahan pertanian. Daerah yang di tuju pada mulanya
adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah kea rah Barat dan tiba di
desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (Lima Jenis Logam) di
pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), Maharsi
Markandeya ini mengajarkan Agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki
(Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini. Jadi
itulah proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali ( Gunawan I Ketut Pasek, 2012 : 12).
2.
Sekte-sekte yang ada dalam Siva
Siddhanta meliputi :
a. Sekte Siwa Sidhanta
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara
lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling
besar pengikutnya. Sekte Siwa Sidhanta dipimpin oleh
Maha Rsi Agastya. Kata Sidhanta berarti inti atau
kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau
inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini
mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, dan
Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainya dapat dipuja sesuai dengan
tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi
Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Ajaran dari
sekte Siwa Sidhanta adalah Mimamsa.
b. Sekte
Pasupata
Sekte
Pasupata juga
merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Dalam pemujaan sekte
Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai symbol tempat turunya atau
berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas
sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali
adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Dibeberapa
tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdaat Lingga dalam jumlah
besar.
c. Sekte
Waisnawa
Sekte Waisnawa adalah golongan yang lebih mengutamakan pemujaan
kehadapan Dewa Wisnu. Sekte Waisnawa memuja Dewa Wisnu
sebagai Dewa yang tertinggi dan utama. Dalam Waisnawa
sampradaya disamping memuja wisnu sebagai dewata utama juga sebagai narayana.
Sekte Waisnawa di bali dengan jelas di berikan petunjuk dalam konsepsi
Agama Hindu di Bali tentang pemujaan dewi Sri. Dewi Sri dipandang
sebagai pemberi rejeki, pemberi kebaahagiaan, dan kemakmuran. Di kalangan
petani, dewi sri dipandang sebagai dewanya padi yang
merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte waisnawa di bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
d. Sekte
Bodha dan Sogatha
Sekte
Bodha dan Sogatha di bali di buktikan dengan adanya
penemuan mantra Budha tipeyete mantra dalam zeal meterae tanah liat yang
tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak di
ketahui di pejeng, gianyar.
e. Sekte
Brahmana
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan
Siwa Sidhanta. Di india sekte brahmana di sebut
Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak di kenala di bali. Kitab-kitab Sasana,
Adigama, Purwa Digama, Kutura. Mnawa yang bersumberkan Manawa
dharma sastra merupakan produk dari sekte brahmana.
f. Sekte
Rsi
Sekte
Rsi di bali, Goris eberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu
kenyataan, bahwa di Bali,
Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa atau
golongan Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan
orang suci diantara raja-raja dari Wangsa
g. Sekte
Sora
Sekte Sora merupakan pemujaan terhadap Surya sebagai dewa utama.
Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana
dilakukan pada waktu mathari terbit dan matahari terbenam manjadi ciri penganut
sekte Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap
upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai
Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan Yajna.
h. Sekte
Gonapatya
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemujaan Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan
arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas
atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa
pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu
penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya
Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng
gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesa dipindahkan dari
tempatnya yang terpencil kedalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya,
patung Ganesa itu tidak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan
dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
i.
Sekte Bhairawa
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa
Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang
ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh
dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran
kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan
duniawi. Ajaran sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan
dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber
dari sekte ini. Sekte Bairawa ajarannya adalah
Carwaka. ( Gunawan, I Ketut Pasek, 2012 : 48 –
50).
3.
Kristalisasi Siwa Siddhanta di Bali
Kristalisasi
di Bali dilakukan, karena adanya perbedaan pendapat/ pandangan dari sekte-sekte
yang ada, yang akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte
yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa.
Maka dari itu sekte-sekte tersebut dikristalisasikan dalam bentuk
:
a. Pemujaan
terhadap Tri Murti
Penyatuan sekte-sekte dapat
dilakukan dengan pemujaan terhadap Tri Murti.
Dimana dalam Tri Murti Dewa yang dipuja Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa yang
dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk
memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama :
-
Pura Desa Bale Agung untuk memuja
kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
-
Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
-
Pura Dalem untuk memuja kemuliaan
Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang
Widhi Wasa.
Ketiga pura tersebut disebut Pura
“Kahyangan Tiga” yang menjadi Lambang persatuan sekte-sekte tersebut.
Mpu Kuturan mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud symbol palinggih Kamulan
Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan
pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa) serta Padma Tiga di Besakih.
b. Pelaksanaan
Panca Yajna
Untuk penyatuan sekte-sekte juga dilaksanakan
melalui pelaksanaan Panca Yajna yang meliputi :
-
Pelaksanaan Dewa Yajna yakni persembahan
kepada Tuhan Yang Maha Esa berseta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara
agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu.
-
Pelaksanaan Manusa Yajna yakni
persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan, yang
pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada sesama manusia, melakukan
upacara agama seperti : upacara magedong-gedongan,
dapetan, tutug kambuhan, dll.
-
Pelaksanaan Pitra Yajna yakni
persembahan kehadapan para orang tua selama masih hidup maupun setelah mati
kehadapan para pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan
di akhirat.
-
Pelaksanaan Rsi Yajna yakni persembahan
kehadapan orang suci, para Rsi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan
serta menuntun umat.
-
Pelaksanaan Bhuta Yajna yakni
persembahan kehadapan para bhuta atau makhluk bawahan.
c. Pembentukan
Sad Kahyangan
Untuk menyatukan pendapat/ pandangan dari
sekte-sekte yang ada agar tidak terjadi pertentangan, maka dibentuklah Sad
Kahyangan yang meliputi :
a.
Pura Besakih,
b.
Pura Lempuyang,
c.
Pura Goa Lawah,
d.
Pura Uluwatu,
e.
Pura Watukaru,
f.
Pura Pusering Jagat.
4.
Ya,
Seperti
yang pernah dijelaskan bahwa Agama itu artinya tidak pergi.
Tidak pergi dalam hal ini artinya orang yang telah meyakini satu kepercayaan
dia tidak akan pergi ke Agama lain. Saya sudah
meyakini Agama Hindu sebagai suatu kepercayaan bagi saya dan saya tidak
akan pergi ke Agama lain. Dan saya masih ingin
mendalami/mengetahui lebih banyak mengenai Agama Hindu.
5.
Sampradaya Krisna dan Sai Baba dalam
konsep Siva Siddhanta
Sai Baba dan
Sampradaya Krisna, sebenarnya bukan ajaran agama, tetapi ajaran suatu perguruan
yang dipimpin oleh Sai Baba dan Krisna. Jadi
ajaran-ajaran Sai Baba adalah ajaran-ajaran budi pekerti yang bisa digunakan
oleh semua agama di dunia.
Dimana antara Sampradaya Krisna dan Siababa
sama-sama memakai Weda sebagai sumber/patokan dari ajarannya, maka dari itu
Sampradaya Krisna dan Sai Baba tidak menyimpang dari ajaran Agama yang ada.
Dan intinya sama yaitu untuk memuja Tuhan namun cara
yang digunakan berbeda. Meskipun Sampradaya Krisna memuliakan
Krisna (Wisnu) sebagai Dewa tertingginya, tetapi dia masih memuja
dewa-dewa/manifestasi Tuhan yang lainnya, begitu pula halnya Sai Baba menyembah
banyak dewa.
Peranan Sai Baba
sesungguhnya meningkatkan dan memantapkan kebenaran Weda yang bersifat
Universal dan kenyal karena sifatnya fleksibel kontekstual. Peningkatan
dan memantapkan sikat umat terhadap kebenaran Weda, Upanisad, Purana, Itihasa
dan Satra lainya, bukan saja bersifat
teoritis kognitif, afektif tetapi juga bersifat konatif. Hal ini terbukti dari
sikap para Sai Bhakta pada umumnya yang telah berubah sikap mentalnya menjadi
lebih lembut, semakin pemurah, semakin akrab, semakin tenggang rasa dan lainnya(Jendra, I Wayan : 2006 : 177).
Namun di Bali akhir-akhir ini para pengikutnya terkadang
berbuat terlalu eksklusif dan seolah-olah menyatakan dirinya sebagai sebuah
sekte. Ini sudah menyimpang dari ajaran Sai Baba itu
sendiri. Demikian pula aliran-aliran yang lain
yang kini marak di Bali. Seharusnya kita tetap berpegang
teguh pada ajaran Mpu Kuturan, yakni agama Hindu-Bali. Karena jika
tidak, kita akan terumbang-ambing, tidak mempunyai pegangan yang pasti, dan
terkadang bertentangan dengan keyakinan para leluhur kita (Geogle, 19/04/12 : 16:15).