Rabu, 01 Januari 2014

Soal UTS Siva Sidhanta


Nama                  : Ni Made Anggra Wahyuni
NIM                    : 10.1.1.1.1.3862
Jurusan               : Pendidikan Agama Hindu
Kelas/Semester   : PAH A/IV
Mata Kuliah       : Siva Siddhanta I

Soal :
1.      Jelaskan proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
2.      Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang ada dalam Siva Siddhanta!
3.      Jelaskan kristalisasi Siva Siddhanta di Bali!
4.      Apakah saudara beragama hindu?
5.      Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya Sampradaya Krisna dan Saibaba dalam konsep Siva Siddhanta?

Jawab :
1.      Penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali :
           Mazab Siva Siddhanta berawal dari datangnya bangsa Arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian ada di Iran. Di India Bangsa Arya bertemu dengan Bangsa Dravida yang  telah mengenal ajaran Siva dengan ciri-ciri seperti bentuk Dewa Siva sehingga diidentik dengan Sivaisme yang tinggal Timbal Nadu. Ajaran Sivasiddhanta berkembang dari agama Siva yang sudah ada sejak zamanPra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida.
           Agama Siva berasal dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum bangsa Arya ada, perkembangan agama Siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk Siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga penikutnya (Subagiasta, 2006 : 7).
           Di Indonesia Mazab Sivasiddhanta datang pada abad ke-4 M di Kutai  dibawa oleh Rsi Agastya dari Banares India. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pasraman Agastya Madrapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawidu. Di Indonesia ada juga kerajaan-kerajaan yang menganut paham Siva yang meliputi :
-          Kerajaan Kutai ditandai dengan terdapat 7 yupa dengan huruf Sansekerta, yang menyatakan bahwa Raja Waprekeswara ada penganut Siva
-          Kerajaan Tarumanegara tahun 400-500 M di Jawa Barat dengan Rajanya Purnawarman, terdapat tujuh prasasti disebut kebun kopi.
-          Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah  tahun  618-906 M rajanya ratu Sima terdapat prasasti bahasa sansekerta bergambar Tri Sula, yang melambangkan senjata dari Siva.
-          Kerajaan Sriwijaya adanya perkembangan Budha Mahayana.
-          Kerajaan Mataram Kuno rajanya Sanjaya ditandai dengan pendirian Lingga yang disebut Prasasti Canggal.
-          Kerajaan Kajuruan dengan rajanya Dewa Sima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru.
-          Kerajaan Medang Rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja trimurti.
-          Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara.
-          Kerajaan Singosari tahun 1222-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan candi.
-          Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya Sivasiddhanta.
-          Kerajaan Pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabhu Dewata (Subagiasta, 2006 : 13).
Inilah  bukti-bukti yang dapat dilihat bahwa Sivasiddhanta telah mulai berkembang di Indonesia.
           Di Bali perkembangan Sivasiddhanta diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya Sivasiddhanta di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapat di Pejeng berbahasa Sansekerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan materai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas…..ddh….” yang oleh para ahli, terutama Dr.R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketikan utuh berbunyi : “Siva Siddhanta”.
Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekte) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai di tulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat pada saat itu. Meluasnya danmendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekte Siwa Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.
           Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Siva Siddhanta di Bali  adalah  ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di Desa Badaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siva dari Candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca hindu Bali.
           Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan ada tiga tokoh agama yaitu : Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siv Nirmala, dan Bhiksu Sivakangsita, yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yakni Hinduisme (sekte Siwa Siddhanta).
           Disamping itu secara tradisional disebutkan bahwa Agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi  Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian. Daerah yang di tuju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah kea rah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (Lima Jenis Logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), Maharsi Markandeya ini mengajarkan Agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini. Jadi itulah proses penyebaran Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali ( Gunawan I Ketut Pasek, 2012 : 12).

2.      Sekte-sekte yang ada dalam Siva Siddhanta meliputi :
a.       Sekte  Siwa Sidhanta
           Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Sekte Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainya dapat dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Ajaran dari sekte Siwa Sidhanta adalah Mimamsa.
b.      Sekte Pasupata
           Sekte Pasupata  juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Dalam pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai symbol tempat turunya atau berstananya Dewa Siwa.  Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Dibeberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdaat Lingga dalam jumlah besar.
c.       Sekte Waisnawa
           Sekte Waisnawa adalah golongan yang lebih mengutamakan pemujaan kehadapan Dewa Wisnu. Sekte Waisnawa memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa yang tertinggi dan utama. Dalam Waisnawa sampradaya disamping memuja wisnu sebagai dewata utama juga sebagai narayana. Sekte Waisnawa di bali dengan jelas  di berikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebaahagiaan, dan kemakmuran. Di kalangan petani, dewi sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte waisnawa di bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
d.      Sekte Bodha dan Sogatha
           Sekte Bodha dan Sogatha di bali di buktikan dengan adanya penemuan mantra Budha tipeyete mantra dalam zeal meterae tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak di ketahui di pejeng, gianyar.
e.       Sekte Brahmana
           Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di india sekte brahmana di sebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak di kenala di bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwa Digama, Kutura. Mnawa yang bersumberkan Manawa dharma sastra merupakan produk dari sekte brahmana.
f.       Sekte Rsi
           Sekte Rsi di bali, Goris eberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali,  Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa atau golongan Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci diantara raja-raja dari Wangsa
g.      Sekte Sora
           Sekte Sora merupakan pemujaan terhadap Surya sebagai dewa utama. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu mathari terbit dan matahari terbenam manjadi ciri penganut sekte Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan Yajna.
h.      Sekte Gonapatya
           Sekte Gonapatya adalah kelompok pemujaan Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesa dipindahkan dari tempatnya yang terpencil kedalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tidak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
i.        Sekte Bhairawa
           Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. Sekte Bairawa ajarannya adalah Carwaka. ( Gunawan, I Ketut Pasek, 2012 : 48 – 50).

3.      Kristalisasi Siwa Siddhanta di Bali
Kristalisasi di Bali dilakukan, karena adanya perbedaan pendapat/ pandangan dari sekte-sekte yang ada, yang akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa. Maka dari itu sekte-sekte tersebut dikristalisasikan dalam bentuk :
a.       Pemujaan terhadap Tri Murti
Penyatuan sekte-sekte dapat dilakukan dengan pemujaan terhadap Tri Murti. Dimana dalam Tri Murti Dewa yang dipuja  Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa yang dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama :
-          Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
-          Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
-          Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi Lambang persatuan sekte-sekte tersebut. Mpu Kuturan mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud symbol palinggih Kamulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa) serta Padma Tiga di Besakih.
b.      Pelaksanaan Panca Yajna
Untuk penyatuan sekte-sekte juga dilaksanakan melalui pelaksanaan Panca Yajna yang meliputi :
-          Pelaksanaan Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa berseta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan  upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu.
-          Pelaksanaan Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan, yang pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada sesama manusia, melakukan upacara agama seperti : upacara magedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, dll.
-          Pelaksanaan Pitra Yajna yakni persembahan kehadapan para orang tua selama masih hidup maupun setelah mati kehadapan para pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat.
-          Pelaksanaan Rsi Yajna yakni persembahan kehadapan orang suci, para Rsi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan serta menuntun umat.
-          Pelaksanaan Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta atau makhluk bawahan.
c.       Pembentukan Sad Kahyangan
Untuk menyatukan pendapat/ pandangan dari sekte-sekte yang ada agar tidak terjadi pertentangan, maka dibentuklah Sad Kahyangan yang meliputi :
a.       Pura Besakih,
b.      Pura Lempuyang,
c.       Pura Goa Lawah,
d.      Pura Uluwatu,
e.       Pura Watukaru,
f.       Pura Pusering Jagat.

4.      Ya,
Seperti yang pernah dijelaskan bahwa Agama itu artinya tidak pergi. Tidak pergi dalam hal ini artinya orang yang telah meyakini satu kepercayaan dia tidak akan pergi ke Agama lain. Saya sudah meyakini Agama Hindu sebagai suatu  kepercayaan bagi saya dan saya tidak akan pergi ke Agama lain. Dan saya masih ingin mendalami/mengetahui lebih banyak mengenai Agama Hindu.

5.      Sampradaya Krisna dan Sai Baba dalam konsep Siva Siddhanta
         Sai Baba dan Sampradaya Krisna, sebenarnya bukan ajaran agama, tetapi ajaran suatu perguruan yang dipimpin oleh Sai Baba dan Krisna. Jadi ajaran-ajaran Sai Baba adalah ajaran-ajaran budi pekerti yang bisa digunakan oleh semua agama di dunia. Dimana antara Sampradaya Krisna dan Siababa sama-sama memakai Weda sebagai sumber/patokan dari ajarannya, maka dari itu Sampradaya Krisna dan Sai Baba tidak menyimpang dari ajaran Agama yang ada. Dan intinya sama yaitu untuk memuja Tuhan namun cara yang digunakan berbeda. Meskipun Sampradaya Krisna memuliakan Krisna (Wisnu) sebagai Dewa tertingginya, tetapi dia masih memuja dewa-dewa/manifestasi Tuhan yang lainnya, begitu pula halnya Sai Baba menyembah banyak dewa.
         Peranan Sai Baba sesungguhnya meningkatkan dan memantapkan kebenaran Weda yang bersifat Universal dan kenyal karena sifatnya fleksibel kontekstual. Peningkatan dan memantapkan sikat umat terhadap kebenaran Weda, Upanisad, Purana, Itihasa dan Satra  lainya, bukan saja bersifat teoritis kognitif, afektif tetapi juga bersifat konatif. Hal ini terbukti dari sikap para Sai Bhakta pada umumnya yang telah berubah sikap mentalnya menjadi lebih lembut, semakin pemurah, semakin akrab, semakin tenggang rasa dan lainnya(Jendra, I Wayan : 2006 : 177). Namun di Bali akhir-akhir ini para pengikutnya terkadang berbuat terlalu eksklusif dan seolah-olah menyatakan dirinya sebagai sebuah sekte. Ini sudah menyimpang dari ajaran Sai Baba itu sendiri. Demikian pula aliran-aliran yang lain yang kini marak di Bali. Seharusnya kita tetap berpegang teguh pada ajaran Mpu Kuturan, yakni agama Hindu-Bali. Karena jika tidak, kita akan terumbang-ambing, tidak mempunyai pegangan yang pasti, dan terkadang bertentangan dengan keyakinan para leluhur kita  (Geogle, 19/04/12 : 16:15).


Ulasan Sloka dalam Sarasamuccaya


NAMA             : NI MADE ANGGRA WAHYUNI
NIM                 : 10.1.1.1.1.3862
SEMESTER   : V
KELAS            : PAH A


Mengulas Sloka dalam Sarasamuccaya tentang Ketuhanan, Etika, Upacara dan Filsafat :
1.      Tentang Ketuhanan dalam Sarasamuccaya :
a.      Nyang waneh, ikang wwang pinaracrayani kadangnya, kadi lwir sang
hyang indra, an pinakakahuripaning sarwabhawa, mwang kadi lwiring
kayu, an pinakakahuripaning, manuk, mangkana ta ya, an
pinakakahuripaning katumbanya, ikang wwang mangkana yatikanak ngaranya.
                                                                              (Sarasamuccaya 229)

Terjemahan :
Demikian pula orang yang dijadikan tempat berlindung oleh kaum kerabatnya, sebagai halnya dewa indra, dewa hujan, yang merupakan sumber kehidupan sekalian makhluk dan bagaikan pohon kayu rindang yang merupakan kehidupan orang-orang seisi rumahnya, orang yang demikian keadaan itulah anak sejati namanya.

Ulasan :
Dalam sloka ini dijelaskan menganai  seseorang,seseorang dalam hal ini adalah para acarya (orang yang menjadi tempat bersandar, yang dijadikan pandangan tempat berlindung, memberikan kenyamanan, kesejukan , memberikan kehidupan yang layak dalam hidup ini, itulah orang yang baik dalam hidup ini. Seseorang seperti itu diumpamakan seperti dewa Indra yang memberikan hujan sebagai sumber dari kehidupan. Dalam sloka ini ada nilai ketuhanan dilihat dari penyebutan Dewa Indra sebagai sumber kehidupan semua makhluk. Dimana Dewa Indra sebagai Dewanya Hujan dapa menurunkan hujan yang menyuburkan tumbuhannya tanam-tanaman dan dengan demikian dapat memberikan kebahagiaan untuk semua makhluk.

2.      Tentang Etika dalam Sarasamuccaya :
a.      Yan paramarthananya, yan arthakama sadhyan, dharma juga
lekasakena rumuhun, niyata katemwaning arthakama mene tan
paramamartha wi katemwaning arthakama deninganasar sakeng dharma.
                                                                              (Sarasamuccaya 12)

Terjemahan :
Pada hakekatnya, jika artha dan kama di tuntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti, tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Ulasan :
Artinya yaitu bahwa dalam mencari artha (kekayaan) dan dalam memenuhi yang namanya keinginan (kama) harus dilandasi dengan yang namanya dharma. Karena segala sesuatu yang dilandasi dharma akan mendapat hasil yang baik.

b.      Lawan haywa angalap yan tan payupobhayan, haywa tanginum madya, haywa
Amati-mati, haywa mithya ring wacana, haywa angangenangen paradara, yan ahyun mantuka ring swarga.
                                                                              (Sarasamuccaya 256)

Terjemahan :
            Dan lagi jangan hendak mengambil milik seseorang, jika belum ada perjanjian, jangan meminum minuman keras, jangan melakukan pembunuhan, jangan berdusta dalam kata-kata, jangan menginginkan istri orang lain, jika berkehendak berpulang ke alam sorga.

Ulasan :
            Artinya yaitu bahwa jika kita menginginkan suasana hati dan tempat yang indah, maka janganlah kita melakukan hal-hal yang membuat suasana hati dan tempat dalam kehidupan kita menjadi kacau, hal tersebut akan mengakibatkan kita tidak mencapai yang namanya sorga tersebut.

3.      Tentang Upacara dalam Sarasamuccaya :
a.      Puja ri sang hyang ekagni, puja ri sang hyang tryagni dana ring
kunda kunang, yatika ista ngaranya, nyang purta ngaranya.
                                                                        (Sarasamuccaya 215)



Terjemahan :
Pemujaan kepada hyang eka agni (api tunggal yang suci) pemujaan kepada hyang tri agni (api tiga yang suci), pun persembahan pada upacara korban api suci (homa), itulah disebut “ista”, berikut ini yang disebut “purta”.

Ulasan :
Di dalam sloka ini dijelaskan mengenai beberapa jenis pemujaan dalam bentuk api, yaitu seperti eka agni, tri agni, homa. Semua jenis upacara tersebut disebut istapurta/yajnakarma.

4.      Tentang Filsafat dalam Sarasamuccaya :
a.      Kadi krama sang hyang Aditya, an wijil, humilangken petengin rat,
mangkana tikang wwang mulahakening dharma, an hilangaken salwiring papa.
                                                                        (Sarasamuccaya 16)

Terjemahan :
            Seperti prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, adalah memusnahkan segala macam dosa.

Ulasan :
            Artinya dharma atau kebenaran itu adalah hal yang penting dalam dalam kehidupan ini. Apabila seseorang berbuat sesuai dharma maka dosa pun tidak akan ada/dosa itu hilang.

b.      Kunang paramarthanya, kadyangganing wwai mangena tebu, tan ikang
tebu juga kanugrahan denika, milu tekaning trenalatadi, saparek ikang
tebu milu kanugrahan, mangkanang tang wwang makaprawretting
dharma, artha, kama, yaca kasambi denika.
                                                                        (Sarasamuccaya 20)

Terjemahan :
            Maka pada hakekatnya, seperti air yang menggenang tebu, bukan hanya tebu itu saja yang mendapat air melainkan turut sampai kepada rumput, tanaman menjalar dan lain-lain sejeninya, serta segala tanam-tanaman di dekat tanaman tebu itupun mendapat air pula, demikianlah orang yang melaksanakan dharma, diperolehnya pula serta artha, kama dan yaca (kemegahan).

Ulasan :
            Arinya dari perbuatan seseorang/orang yang melakukan dharma atau suatu kebenaran, bukan hanya dia yang akan menikmati buah hasilnya, tetapi hasilnya akan dinikmati juga oleh orang terdekatnya misalnya keluarganya.