Jumat, 13 Desember 2013

DESKRIPSI MERAJAN SERTA KONSEP PENYATUAN SIVA SIDDHANTA

DESKRIPSI MERAJAN SERTA KONSEP PENYATUAN SIVA SIDDHANTA DI MERAJAN KETUT SINTRA (Pasek Kabayan) DI DESA POHSANTEN, NEGARA

I. PENDAHULUAN 
            Pura berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu “Phur”, artinya tempat suci, istana, kota.     Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan (http://www.artikata.com/arti-348944-sanggah.html, 19:36). Menurut tradisi di Bali, jika hanya menyebut istilah “pura” maka itu artinya tempat persembahyangan. Selain istilah “pura”, juga sering terdengar istilah “kahyangan” dan “Prahyangan” (Winanti, 2009 : 15). Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu : 1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa. 2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur. Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu dimungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tersebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata) dan disebut bhatara. 
            Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri-ciri yang antara lain dapat dikerahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti ikatan social, politik, ekonomis, genealogis (territorial), ikatan pengakuan atas jasa seseorang guru suci. Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat kekhasannya adalah sebagai berikut : 1) Pura Umum Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura-pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru. 
            Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi. 2) Pura Teritorial Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. 3) Pura Fungsional Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. 4) Pura Kawitan Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. 
            Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti (http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/, 19:44). 

II. PEMBAHASAN 
2.1 Deskripsi Merajan 
         Secara umum Istilah “pamerajan” berasal dari Bahasa kawi “Praja” yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Pamerajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atua keluarga. Dalam lontar Siwagama disebutkan bahwa Pelinggih utama yang ada di Pamerajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur (Winanti, 2009 : 19). Pamerajan sebagai istilah untuk menyebut tempat pemujaan keluarga adalah tergolong istilah dalam bahasa “singgih”atau bahasa Bali Halus. Sedangkan dalam bahasa Bali kapara atau bahasa lumrah disebut sanggah. Pamerajaan atau sanggah adalah tempat pemujaan untuk satu keluarga. Pamerajaan bukan merupakan tempat pemujaan umum yang berlaku bagi setiap umat Hindu. Pamerajaan hanya tempat pemujaan untuk umat Hindu yang memilki ikatan keluarga yang sama. Pamerajan adalah “ulun karang” atau kalau diumpamakan seperti manusia, Pamerajan itu dapat diumpamakan sebagai kepala atau ulunya pekarangan (Wiana, 1996 : 19). 
           Pendirian Pamerajan didasarkan pada adanya pengertian bahwa atma itu berproses untuk kembali pada asalnya yaitu Paramatma. Di dalam berbagai prasasti di Bali ada disebutkan istilah “Sidha dewata”. Kata “Sidha dewata”ini berarti menvapai alam dewa atau berasa pada alam Sang Hyang Widhi. Roh atau atma yang telah suci atau “Sidha dewata” inilah yang dipuja di Pamerajan (Wiana, 1996 : 16). Di dalam lontar Siwagama ada disebutkan tingkatan-tingkatan pemujaan keluarga sebagai berikut : setiap 40 pakarangan rumah disuruh mendirikan panti, adapun setengah dari bagian itu yakni 20 pakarangan rumah supaya mendirikan pelinggih Ibu, kecilnya 10 pakarangan rumah pelinggih Pratiwi supaya didirikan dan Kamulan pada masing-masing pakarangan rumah (Wiana, 1996 : 20). Tutur Sasana menyebutkan bahwa fungsi merajan bagi umat Hindu adalah 1) Sebagai tempat pemujaan roh leluhur, 2) untuk melangsungkan upacara perkawinan dan tuwun tanah, 3) sebagai Pembina rohani, 4) sebagai tempat pertemuan antara keluarga, penggalangan persatuan dan kesatuan keluarga dan 5) sebagai tempat pemelihara dan pembinaan kebudayaan, karena di saat odalan dipentaskan seni sacral seperti kidung, tari sacral dan lainnya (Winanti, 2009 : 24). 
            Dalam penjelasan Lontar Purwa bhumi Kamulan ini, amat teranglah bahwa salah satu fungsi dari pada merajan adalah sebagai tempat mestanakan roh suci leluhur. Yang dilakukan pada pelinggih Kamulan. Tujuan daripada ngalinggihang Dewa Pitara di Kamulan adalah agar dapat disembah oleh semua keluarga dan keturunannya sebagaimana ditegaskan dalam kalimat : “Kinebaktenana dening sewarganya mwang santananya”. Maknanya adalah menstanakan dan memuja leluhur di Kamulan adalah untuk mendapatkan kerahayuan hidup (Wiana, 1996 : 24). 

2.2 Sejarah Merajan Keluarga Ketut Sintra 
          Pamerajan yang letaknya di desa Pohsanten, Kec. Mendoyo, Kab. Jembrana, Negara ini dibangun ± tahun 1949. Dimana pada saat itu, di merajan ini hanya ada Sembilan pelinggih yaitu taksu, Manjangan Salwang, Pelinggih Pasaren, Dewa Ayu, Padmasana, Pangayatan Gunung Agung, Bhatara Hyang Kawitan, Rong Tiga atau Kamulan. Pada tahun 1967 terjadi renopasi. Dan ada penambahan bangunan pelinggih yaitu dari Sembilan pelinggih ditambah 2 palinggih menjadi sebelas pelinggih. Pelinggih itu adalah Rong Dua/Bhatara Hyang Dewa dan Ratu Nyoman. Sampai sekarang jumlah pelinggih yang ada dimerajan saya ada 11 pelinggih dan disungsung oleh 33 KK. Setelah itu terjadi renopasi lagi terhadap piyasan. Piyasan direnopasi pada tahun 2003 (Keterangan Jero Mangku). Odalan di merajan dilakukan setiap Buda Kliwon Pahang. Jarak antara satu pelinggih dengan pelinggih lainnya Tiga setengah tapak kaki kepala keluarga/pemangku.

2.4 Deskripsi Masing-Masing Pelinggih Di Merajan
       Di dalam Merajan/Jeroan ada 11 pelinggih yaitu :
1) Taksu Pelinggih yang letaknya paling barat dari deretan pelinggih yang ada di merajan saya.
Taksu adalah symbol kekuatan/motivasi untuk keluarga yang memuja. Kata taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”. Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”. Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta).
              Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”. Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya (http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/, 19:44). Fungsi tempat suci ini adalah untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan pelinggih tersebut. Di sisi lain, pelinggih ini juga difungsikan sebagai tempat “transit” Ida Bhatara ketika diadakan Piodalan (Pasek Gunawan, 2012 : 21). Wastra yang digunakan untuk pelinggih taksu adalah wastra berwarna kuning.
Adapun mantra di pelinggih taksu yaitu :
Ong Ang Ah Mahadewi Jagatpati ya namah swaha, 
Ong Ung Prajapati namah, 
Ong Mang Mataya namah, 
Ong Tang Prapitaya namah, 
Ong Ing Prapitaya namah, 
Ong Mang Mataya namah, 
Ong Ing Paramataya namah. 

2) Dewa Ayu
          Menurut Jero Mangku di merajan saya, Dewa Ayu adalah pelinggih yang memiliki fungsi sebagai pelindung atau penjaga bagi umat atau sumber kehidupan bagi umat. Jadi yang dipuja disini adalah Dewi Sri, yaitu Dewi kemakmuran/Dewi pemberi rejeki. Pelinggih ini menggunakan wastra warna kuning.

3) Menjangan Salwang
           Menjangan Salwang adalah pelinggih yang letaknya di timur Dewa Ayu. Palinggih ini berisi kepala menjangan dan lengkap dengan tanduknya. Fungsi pelinggih ini tempat persinggahan para Dewa/Leluhur yang berasal dari majapahit dan sebagai penjalin hubungan erat antara Bali dengan Jawa. Pembuatan palinggih ini adalah sebagai wujud terima kasih kepada Mpu kuturan, karena Mpu kuturan dipercaya sebagai pendiri konsep pemerajan seperti disebutkan beberapa sumber lontar. Wastra yang digunakan untuk pelinggih ini adalah wastra berwarna putih.
Adapun mantra di pelinggih ini yaitu :
Ong Ang Mang Dewi Dimuteri Bhuwana Triyo, 
Pratisthabhyo Samudra Jagat Gurubhyo namah swaha, 
Ong Ah Sukla Dewi Maha Laksmi, 
Sri Giripati Sukla Pawitrani swaha. 

4) Pelinggih Pesaren
          Menurut keterangan dari Jro mangku Pelinggih Pesaren adalah salah satu pelinggih yang ada di sebelah manjangan salwang. Fungsi dari tempat suci ini adalah sebagai tempat peristirahatan/tempat berteduh para Dewa yang datang untuk turut menyaksikan jalannya upacara di merajan. Pelinggih ini menggunakan wastra warna putih.

5) Dewa Ayu Ulun Danu
           Menurut keterangan Jero Mangku dan salah seorang anggota keluarga Dewa Ayu Ulun Danu adalah salah satu palinggih yang menghadap ke selatan. Fungsi pelinggih ini hampir sama dengan dengan fungsi pelinggih Dewa Ayu. Pelinggih Dewi Sri yaitu sakti dari Dewa Wisnu. Fungsi dari tempat suci ini adalah sebagai sumber rejeki/kemakmuran bagi para pemujanya. Pelinggih ini menggunakan wastra warna kuning.

6) Padmasana
           Padmasana adalah salah satu pelinggih yang ada di merajan saya, yang letaknya letaknya di Timur Laut, menghadap ke Barat Daya (Padma Saji). Pelinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. Wastra yang digunakan dipelinggih ini adalah wastra warna putih.

7) Pengayatan Gunung Agung/Gedongan
             Pengayatan Gunang, menurut kepercayaan keluarga saya (Pasek Kabayan), fungsinya dari pelinggih ini adalah untuk ngayat/pemujaan cikal bakal terbentuknya pura yang ada di Bali di empon/disungsung secara nyatur wangsa. Adapun mantra di pelinggih ini yaitu :
Om-om Giripati ya namah swaha
Artinya : Ya Tuhan dalam wujud Giripati, hamba bersujud dihadapan-Mu (Wijaya, 2010 : 20).

8) Bhatara Hyang Kawitan/Gedong Limas
            Gedong Limas adalah pelinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga. Pelinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bhatara Kawitan yang sudah suci (Winanti, 2009 : 44). Pelinggih ini menggunakan wastra warna putih.

9) Rong Tiga atau Kamulan Kemulan
         Rong Tiga adalah sebuah bangunan suci yang beruang tiga tempat memuja Tri Murti Brahma di ruang kanan, Dewa Wisnu di ruang kiri dan di tengah berstanalah Dewa Isvara. Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala.
            Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
“Om Guru Dewa Guru Rupam 
Guru Madyam Guru Purwam 
Guru Pantaram dewam 
Guru Dewa Sudha nityam” 

Artinya: “Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu”
            Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru (http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/, 19:44).
             Ada beberapa fungsi dari kemulan yaitu : (1) Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva).
             Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti. (2) Tempat Memuja Leluhur Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma). Wastra yang digunakan di pelinggih ini yaitu wastra berwarna putih.

10) Rong Dua atau Bhatara Hyang Dewa
          Rong Dua adalah sebuah bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dalam wujud purusa dan pradana (dewa-dewi). Tempat ini pula untuk menghanturkan “sodaan”, persembahan berupa banten kepada leluhur. Tempat ini berfungsi untuk memuja leluhur yang telah menurunkan trah/keturunan secara langsung, misalnya kakek, nenek, paman, bibi, buyut yang telah meninggal. Rong dua untuk memuja roh leluhur yang belum mencapai kualitas Dewata, belum diaben (Pasek Gunawan, 2012 : 22). Wastra yang digunakan dipelinggih ini adalah wastra berwarna putih.

11) Ratu Nyoman
          Ratu Nyoman adalah salah satu pelinggih di merajan yang letaknya paling selatan dan menghadap ke barat. Fungsi dari tempat suci ini adalah sebagai penjaga atau pelindung pada suatu lokasi merajan, menurut kepercayaan keluarga saya (Pasek Kabayan). Ratu Nyoman adalah raja dari segala bhuta beliau tiada lain adalah Ganapati (Dewa Ganesa). Wastra yang digunakan di pelinggih ini adalah wastra berwarna hitam dan putih (poleng).
           Selain bagian pelinggih di atas di areal jeroan merajan juga ada: (1) Piyasan Piyasan adalah pelinggihan Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Paruman karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias. Menurut kepercayaan keluarga saya (Pasek Kabayan), Piyasan ini adalah tempat untuk meletakkan aturan tetebasan/ genah aturan untuk leluhur yang belum bersih. Adapun mantra di piyasan : Ih Ah Ing Bhupati ya namah swaha, Ang Ung Mang, Ong Sanghyang Tunggal Amrthaya Saktiya namah swaha. (2) Bale Gong Bale Gong Merupakan linggih Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara (dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di kerongkongan, berfungsi untuk mengeluarkan suara). (3) Gunung Rata Gunung Rata berfungsi tempat untuk meletakkan banten/ sodaan/perani pada saat odalan (4) Bale Banten Bale banten adalah tempat meletakkan banten yang akan dipakai pada saat mengadakan upacara di merajan.
             Bila kita keluar dari areal jeroan merajan maka kita akan melewati candi bentar. Candi bentar Candi bentar diumpamakan sebagai gunung yang dibelah menjadi dua. Candi bentar adalah symbol kesejahteraan. Setelah melewati candi tersebut di kanan dan kiri kita akan melihat 2 buah pelinggih yang disebut Apit Lawang/Pangapit Lawang. Pangapit Lawang Pangapit Lawang adalah pelinggih Bhatara Kalla dengan bhiseka jaga-jaga yaitu putra Bhatara Siva yang bertugas segagai pecalang (Winanti, 2009 : 44). Fungsinya juga sebagai penyambut tamu, menurut kepercayaan keluarga saya (Pasek Kabayan). Wastra yang digunakan dipelinggih ini wastra warna putih. Bale Pasamuan Bale Pasamuan adalah tempat berkumpul keluarga untuk membahas sesuatu yang berhubungan dengan merajan. Misalnya tentang piodalan, tentang renopasi merajan dan lain sebagainya. Selain pelinggih diatas diluar areal merajan juga ada satu pelinggih yaitu lebuh. Lebuh Menurut keterangan dari Jero Mangku Pelinggih lebuh adalah salah satu pelinggih yang ada di luar pekarangan merajan/di jabe merajan. Yang melinggih di lebuh adalah Ratu Nyoman Sakti pengadang-ngadang (Ganesa). Fungsi dari pelinggih ini adalah sebagai penjaga hal-hal yang mengganggu baik dari dalam maupun luar secara niskala.

 2.5 Upakara/Banten Yang Dihaturkan Pada Saat Rerainan Di Merajan
           Menurut keterangan Jero Mangku dan salah seorang anggota keluarga, banten yang biasa digunakan pada hari-hari tertentu yaitu seperti :
1) Pada saat Sugian, banten yang dihaturkan adalah : Di Kemulan, Padma dan Kawitan banten yang dihaturkan adalah Daksina. Di pelinggih yang lain banten yang dihaturkan adalah punjung sugian. Punjung bahan-bahannya yaitu tamas, pisang, nasi, telur, jajan, tebu, tape banten.
2) Pada saat purnama dan tilem banten yang digunakan adalah Di Kemulan, Padma dan Kawitan banten yang dihaturkan adalah Daksina Di pelinggih yang lain adalah canang sari.
3) Pada saat odalan kecil bantennya berupa banten Mancak Bingin.
4) Pada saat Odalan Gede/Jelih bantennya berupa banten Mepiogembal.

2.6 Konsep Penyatuan Siva Siddhanta Yang Ada Di Merajan
         Dari penjelasan di atas dapat kita lihat adanya konsep Siva Siddhanta yang ada di merajan mulai dari :
1) Taksu adalah symbol kekuatan/motivasi untuk keluarga yang memuja. Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti”. Yang mana sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energy. Dari semua penjelasan tersebut maka dapat kita lihat adanya pemujaan terhadap sekte Sakta (sakti Tuhan).
2) Dewa Ayu Ulun Danu dan Dewa Ayu adalah pelinggih yang memiliki fungsi hampir sama yaitu sebagai pelindung atau penjaga bagi umat atau sumber kehidupan bagi umat. Dan pelinggih ini sama-sama memuja Dewa Sri sebagai Dewi pemberi kemakmuran/pemberi rejeki bagi umat. Jadi dapat saya simpulkan adanya pemujaan Sekte Waisnawa, karena adanya pemujaan kepada Dewi Sri yang merupakan sakti dari Dewa Wisnu.
3) Padmasana adalah Pelinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. Di padmasana terlihat adanya pemujaan Sekte Siva Siddhanta. Dimana disebutkan bahwa yang dipuja di Padmasana adalah Siva Raditya atau Tuhan Yang Maha Esa.
4) Kemulan adalah sebuah bangunan suci yang beruang tiga tempat memuja Tri Murti Brahma di ruang kanan, Dewa Wisnu di ruang kiri dan di tengah berstanalah Dewa Isvara. Dapat saya simpulka adanya konsep penyatuan Siva Siddhanta. Di Kemulan kita memuja yang namanya Tri Murti yaitu Brahma, Visnu dan Siva. Disini terlihat adanya pemujaan kepada sekte Waisnawa dan sekte Siva yang dipadukan ke dalam satu pelinggih/satu tempat pemujaan.
5) Ratu Nyoman, dilihat dari artinya Ratu Nyoman adalah penjaga dari merajan, Ratu Nyoman adalah raja dari semua bhuta (Ganapati), maka dapat disimpulkan bahwa pada pelinggih ini adanya pengaruh sekte Ganapatya.
6) Lebuh mempunyai fungsi yang hampir sama dengan Ratu Nyoman. Kesamaannya yaitu sama-sama sebagai penjaga. Pada pelinggih ini ada pengaruh sekte Ganapatya. Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa di merajan saya terjadi penyatuan konsep Siva Siddhanta. Dilihat dari masih adanya pemujaan terhadap sekte-sekte yang ada, mulai dari sekte Sakta, Waisnawa, Siva Siddhanta, Ganapatya dan lainnya. Yang dimana antara sekte yang satu dengan yang lain menyerap menjadi satu ke dalam konsep Siva Siddhanta, dan tidak saling mendominasi.

III. PENUTUP
3.1 Simpulan
           Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa : 1) Pamerajan yang letaknya di desa Pohsanten, Kec. Mendoyo, Kab. Jembrana, Negara ini dibangun ± tahun 1949. Dimana pada saat itu, di merajan ini hanya ada Sembilan pelinggih yaitu taksu, Manjangan Salwang, Pelinggih Pasaren, Dewa Ayu, Padmasana, Pangayatan Gunung Agung, Bhatara Hyang Kawitan, Rong Tiga atau Kamulan. Pada tahun 1967 terjadi renopasi. Dan ada penambahan bangunan pelinggih yaitu dari Sembilan pelinggih ditambah 2 palinggih menjadi sebelas pelinggih. Pelinggih itu adalah Rong Dua/Bhatara Hyang Dewa dan Ratu Nyoman. Sampai sekarang jumlah pelinggih yang ada dimerajan saya ada 11 pelinggih dan disungsung oleh 33 KK. 2) Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa di merajan saya terjadi penyatuan konsep Siva Siddhanta. Dilihat dari masih adanya pemujaan terhadap sekte-sekte yang ada, mulai dari sekte Sakta, Waisnawa, Siva Siddhanta, Ganapatya dan lainnya. Yang dimana antara sekte yang satu dengan yang lain menyerap menjadi satu ke dalam konsep Siva Siddhanta, dan tidak saling mendominasi.  

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. http://www.artikata.com/arti-348944-sanggah.html, diakses 22 oktober 2012, 19:36.
Anonim. http://stitidharma.org/pura-dan-sanggah-pamrajan/, diakses 22 Oktober 2012, 19:44.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Siva Siddhanta II. Tanpa Penerbit.
Pulasari, Jero Mangku. 2009. Cakepan Alit Puja Weda Mantra. Surabaya : Paramita.
Wiana, I Ketut. 1996. Pelinggih di Pamerajan. Denpasar : Upada Sastra. Winanti, Ni Putu. 2009. Pura Keluarga dan Pratima. Denpasar : Pustaka Bali Post.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar