Jumat, 13 Desember 2013

SIVA WASISTA DUAITA (SAIVA MONISTIK BERSYARAT)

SIVA WASISTA DUAITA (SAIVA MONISTIK BERSYARAT)
          Pada abad ke-11 Masehi terdapat usaha-usaha yang dikonsentrasikan dalam menjembatani jurang yang memisahkan Saivisme danVaisnavaisme dengan Brahmanisme. Srikantha dan Ramanuja, adalah 2 orang sarjana besar yang mengusahakan tugas ini seperti yang ditunjukkan dalam 2 ulasan mengenai Vedanta Sutra yaitu 1). Brahma-mimamsa bhasya dan 2). Sribhasya. Dalam rangkaian penafsirannya tentang Pasupatadikarana, yang menurut Sankara, menyalahkan filsafat Saiva Pasupata. Srikantha mengemukakan bahwa tak ada pertentangan antara Veda dan Saivagama dan keduanya sama-sama berwenang. Keduanya tidak bertindak dari sumber terakhir dari segala sesuatu yaitu Brahman atau Para Siva, dan oleh karena itu layak untuk membicarakan Veda juga sebagai “Saivagama”. 
           Ia menengaskan bahwa ciri-ciri ritual dan pelaksanaan keagamaan dari Saiva, seperti melumuri badan dengan abu dan mengenakan tanda Tripundra, dinyatakan dalam kitab-kitab Upanisad seperti Atharvasirah, Kalagnirudra dan Brhajjabala. Akhirnya, dalam ulasanya tentang Brahma Sutra, ia memperlihatkan bahwa system yang dinyatakan itu merupakan monistik bersyarat, baik Saivatik maupun Vaisnavaitik didasarkan pada agamanya masing-masing, yang merupakan suatu akibat langsug dari Monistik yang dualistic (bhedabhedavada). Sebelum munculnya Vaisnava Monistik Terbatas, 2 orang yang berwenang telah membicarakan tentang Bhedabheda, yang seorang Yadava Prakasa, yang merupakan guru dari Ramanuja sendiri, dan yang lainnya, Bhaskara yang merupakan seorang yang netral, pada abad ke-9 Masehi. Demikian pula keputusan Saivagama, secara terbuka mengemukakan bhedabheda, dan system lakulisa pasupata, menyatakan hal yang sama sebelum munculnya Visistadvaita Saivaisme dari Srikantha. Srikantha merupakan pengikut dari aliran Saiva Siddhanta yang menerima 28 buah Saivagama, dimana yang 18 buah memperuntuhkan filsafat bhedabheda. Ia mengambil dasar pemikiran filosofis dari Siddhanta dualis, dan mengakui : (1) bahwa terdapat 3 kategori awal yaitu pati, pasu dan pasa, (2) bahwa dari titik pandang lain, ada 36 kategori dan ini tampaknya diakibatkan oleh pengaruh Saiva Monistik dari Kasmir, seperti yang telah kita ketahui dari pernyataan ulasan Appayya Diksita, (3) bahwa ada 3 ketidak murnian yaitu Pasutva, Karma, dan Mayiya, yang berupa material seperti kehitam-hitaman pada tembaga, (4) bahwa Moksa (pembebasan) merupakan pencapaian kesamaan (Samya) dengan Saiva, (5) bahwa subjek pribadi memiliki sifat mahatahu dan maha kuasa, tetapi daya-daya ini terselubungi oleh ketidakmurniaan, tersembunyi menjadi berwujud dan ia menjadi sama dengan Tuhan, (6) bahwa Para Siva mengatasi semua kategori dan memiliki daya (sakti) yang ada didalam diri-Nya dan menyusun sifat-sifat (guna) utama-Nya. 
           Suatu perbandingan yang seksama tentang konsepsi Tuhan, daya (sakti-Nya), dan kaitannya dengan keduanya, seperti yang dinyatakan dalam Lakulisa Pasupata, dengan yang dikemukakan dalam ulasan iikantha tentang Vedanta Sutra, seperti yang ditafsirkan oleh Appayya Diksita, meninggalkan sedikit keraguan-raguan tentang kenyataan bahwa Srikatha telah mengambil pandangan Monistik Dualis dari Lakulisa Pasupata. Srikantha secara terbuka menyatakan bahwa ia ditentang oleh Bhedabheda dan ia mengakui bahwa terdapat naskah Veda yang membicarakan tentang identitas dari dunia objektif dan realitas terakhir, seperti yang dinyatakan oleh : “tadananya tvam arambha nasabdadibhyah” dan juga ada naskah yang membicarakan tentang perbedaan keduanya , misalnya seperti : “adhikantu bhedanirdesa’. Tetapi ia menyatakan bahwa hal ini bukan berarti bahwa kedua pernyataan itu alam kaitan Saiva dengan alam dunia memiliki keabsahan yang sama, dank arena itu Bhedabheda hanyalah suatu filsafat, karena pandangan yang demikian itu tidak logis, sebab ia membuat pertanyaan yang bertentangan mengenai yang satu dan sama. 
           Menurut dunia objektif tidak ada secara bebas dan terpisah dari Brahman, seperti satu objek duniawi terhadap yang lainnya, misalnya sebuah kendi dengan sepotong pakaian, karena pandangan seperti itu bertentangan dengan naskah yang membicarakan tentang identitas keduanya (tadananyatva). Atau mereka itu sama sekali tidak identik, dimana yang satu hanyalah suatu khayalan dan yang lainnya merupakan dasar, seperti khayalan tentang perak dan induk mutiara, dari mana khayalan tentang perak muncul, karena pandangan semacam itu bertentangan dengan naskah lain yang membicarakan tentang perbedaan Brahman atau Siva dengan dunia objektif, karena perbedaan sifat yang ada padanya dari keduanya dan Dvaitadvaita adalah tidak logis. 
       Ia juga menolak Monisme Murni, Dualis Murni, Dualis yang monistik dan juga pandangan yang menganggap sukar untuk menyatakan secara tepaat, baik Monisme maupun Dualis. Ia menyatakan bahwa dua hal akan tetap ada bersama-sama, dimana yang satu tak dapat ada tanpa yang lainnya demikian pula dengan masalah Brahman dan kejamakan empiris, karena menurutnya, kejamakan memiliki keberadaan potensial dalam daya (sakti) dari Brahman dan kejamakan empiris tiada lain adalah bentuk kasar dari apa yang ada dalam bentuk halus dalam daya Brahman, seperti sebatang pohon dalam sebutir biji. Selanjutnya, karena daya yang memunculkan kerja makan tak akan dapat ada tanpa daya, seperti apa tanpa panasnya, maka daya merupakan atribut dari Brahman, dan akhirnya kejamakan empiris juga merupakan atribut-Nya, yang secara potensial ada dalam daya-Nya dan tidak berada secara bebas dari pada-Nya walaupun ketika ia mengenakan wujud kasar. 
       Oleh karena itu Srikantha menyatakan bahwa teorinya tentang Monisme terbatas merupakan penyesuaian yang sempurna dengan naskah-naskah suci yang membicarakan tentang penyamaan dan perbedaan. Kesunyataan terakhir, yaitu Brahman atau Siva bebas dari pembatasan sementara, sebagian dan formal, sehingga tiada bandingannya. Dia memiliki perbedaan di dalam diri-Nya sendiri, tetapi Ia tidak berbeda dengan sesuatu yang berbeda dari pada-Nya namun memiliki realitas yang sama dengan-Nya, seperti sebuah kendi dengan sepotong pakaian. Hal ini hanya untuk menyatakan bahwa semuanya perlu dalam penggunaan kata Brahman untuk Siva, yang merupakan pribadi yang agung seperti Puspadanta, raja para Gandharva, dalam Mahimna Stotra yang menunjukkan Siva dalam 8 kata sebagai pengganti atribut utamanya, yaitu 1). Bhava, 2). Sarva, 3). Siva, 4). Pasupati, 5). Paramesvara, 6). Mahadeva, 7). Rudra, 8). Sambhu. 
          Ia disebut Bhava karena Ia merupakan sumber alam semesta dan pemikiran ini dijumpai dalam Taitiriya Aranyaka yaitu “Bhavodbhavaya”. Disebut Sarva karena Ia menghancurkan alam semesta pada saat peleburan, disebut Siva karena Ia memiliki segala atribut yang baik, disebut Pasupati karena Ia mengendalikan roh-roh dalam belenggu seperti seorang pemburu mengendalikan anjing-anjingnya yang diikat dengan rantai, disebut Paramesvara karena Ia menguasai segenap alam semesta, disebut Mahadeva karena Ia bersandar pada kebahagiaan transedental-Nya sendiri, disebut Rudra karena Ia membebaskan yang terbelenggu dari ikatan keberadaan yang berpindah-pindah, disebut Sambhu karena Ia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada segenap ciptaan. 
          Kesatuan Brahma dan Siva merupakan kesatuan yang sama dengan pengalaman estetika, karena keselarasan penyatuan dari segala isinya, demikian pula Siva merupakan suatu kesatuan, karena semua yang ada di dalam-Nya membentuk suatu kesatuan yang sama dengan yang dibentuk oleh berbagai bahan dari “Panaka Rasa”, sehingga Ia bukan merupakan suatu kesatuan yang murni, tetapi kesatuan dalam kejamakan dan Ia tidak ada tanpa atribut (nirvisesa), karena daya untuk menghasilkan kejamakan kasar merupakan sifat alamiah-Nya seperti panas pada api. Ia adalah penyebab material maupun penyebab efisien, karena dari daya milik-Nya, dimana segenap kejamakan memiliki keberadaannya dalam suatu bentuk yang halus dan karena Ia mengarahkan daya ini dalam menghasilkan kejamakan yang kasar. 
            Siva Wasista Duaita mengakui pentingnya pelaksanaan upacara, pengurbanan disebut yang diakui oleh Brahmanisme, dalam pencapaian kebebasan, sedemikian jauh sehingga mereka dapat membebaskan diri pribadinya dari dosa-dosa sehingga membuatnya panas untuk mengikuti jalan pembebasan, tetapi Ia menyatakan bahwa semuanya itu akhirnya bergantung pada anugrah Tuhan. Siva Wasista Duaita menyatakan bahwa walaupun pada pembebasan pribadi yang dibeda-bedakan secara pribadi, memiliki keberadaan yang terpisah dengan Brahman atau Siva dan tidak memiliki kesadaran tentang kejamakan empiris dan ia melihat tiada lain dari Brahman, dengan mana segenap kejamakan ini dipersatukan. Siva Wasista Duaita mengakui bahwa Parama Siva menempati segala sesuatu dan berbeda dengan Pasu, walaupun mereka telah bebas. Karena itu akan muncul pertanyaan “Bagaimana Mahavakya Tattvamasi” dapat dijelaskan, berkenaan dengan penyamaan pribadi dengan yang semesta ?” jawabannya adalah bahwa penyamaan yang dinyatakan oleh naskah suci tersebut, menyatakan tentang penyamaan seperti yang dijumpai dalam penyamaan seniman dengan titik pusat situasi, yaitu pahlawan, pada tingkatan yang mengharukan. Seperti seorang pribadi yang merenungkan tentang Siva, memperoleh kenyamanan dengan-Nya, tanpa kehilangan kesatuannya sendiri. 
            Akhirnya Srikantha menyatakan bahwa di dalam naskah-naskah macam itu dimana kata-kata seperti “Seseorang yang mengetahui Brahman, menjadi Brahman” (brahmaveda brahmaiva bhavati), artinya bahwa seseorang yang mengetahui Brahman, menjadi seperti Brahman dengan kata “Eva” dipergunakan dalam pengertian “Iva”, sehingga naskah tersebut bukan berarti bahwa sang pribadi hilang dalam yang universal, seperti hilangnya ether yang dibatasi dengan sebuah kendi, dalam ether universal, ketika kendi tersebut dipecahkan Ia mempertahankan pendapatnya bahwa kesamaan selalu termasuk perbedaan dan naskah yang dikaji bersama-sama mengartikan bahwa pembebasan menjadi nyata dengan dan bukan secara penuh menjadi satu dengan Brahman atau Siva. Jadi perkataan “Sayujya” menurut Siva Wasista Duaita bukan berarti “Penyatuan Penetrasi”, tetapi kesamaan (samya) saja. Penghancuran universal tidak berakibat terhadap yang bebas, karena mereka itu tanpa akhir. Ia menjadi bagian yang pertama dari 36 kategori “Siva”, karena Ia berbeda dengan Pasu dan Pasa. 
Sumbernya : Maswinara, I Wayan.1999.Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Paramita: Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar