Jumat, 13 Desember 2013

SIVA SIDDHANTA DI BALI

SIVA SIDDHANTA DI BALI 

BAB I 
PENDAHULUAN
 1.1 Latar Belakang 
         Siwaisme yang berkembang di India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Kashmir, di sekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan Kashmir, terdapat lembah sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India, dan berkembang pesat ke seluruh India, dan wilayah diluar India, salah satunya adalah Bali. Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. 
           Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta. 
            Disini kami akan menjelaskan Siva Siddhanta di Bali Khususnya. Apa sumber Siva Siddhanta, bagaimana tempat pemujaannya, persembahannya bagaimana. Melalui pemujaan, persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali. 

1.2 Rumusan Masalah 
Berdasarkan Latar Belakang di atas adapun rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini yaitu : 
1. Apa sumber ajaran dari Siva Siddhanta? 
2. Bagaimana Ajaran dari Siva Siddhanta? 
3. Bagaimana pengikut dari Siva Siddhanta? 
4. Orang suci yang menyebarkan Siva Siddhanta? 
5. Bagaimana peranan Padma Tiga di Besakih (Bali) sebagai konsep Tuhan Siva? 
6. Apa saja hari suci dalam falsafah Siva Siddhanta 
7. Bagaimana penerapan Siva Siddhanta di Bali? 

1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut: 
1. Untuk mengetahui sumber ajaran dari Siva Siddhanta. 
2. Untuk mengetahui ajaran dari Siva Siddhanta. 
3. Untuk mengetahui pengikut dari Siva Siddhanta. 
4. Untuk mengetahui Orang suci yang menyebarkan Siva Siddhanta. 
5. Untuk mengetahui dan memahami peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa, dalam Wujud Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa itu sendiri. 
6. Untuk mengetahui hari suci yang melambangkan pemujaan terhadap Tuhan (Siva) 
7. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Siva Siddhanta di Bali. 

  
BAB II 
PEMBAHASAN 
2.1 Sumber ajaran dari Siva Siddhanta 
             Sebagai sumber ajaran Siva Siddhanta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagai dijelaskan dalam buku Siva Sasana ada di kelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud adalah empat yaitu : 1. Kelompok Weda misalnya Weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana, dan siva pakarana. 2. Kelompok tattwa meliputi bhuwana kosa, bhuwana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siwa gama, siwatattwapurana, gong besi, purwa bhumi kamulan, tantu panggelaran, usaha dewa, ganapati tattwa, tattwa jnana,jnana siddhanta. 3. Kelompok ethica adalah siwa sasana, rsi sasana, wrti sasana, putra sasana, dan slokantara. 4. Kelompok upacara agama meliputi : a. Upacara dewa yajna antara lain catur wedhya, wrhaspatikalpa, dewatattwa, sundarigama, dan lainnya. b. Upacara pitra yajna antara lain yamatattwa, empu lutuk aben, kramaning atiwatiwa, indik maligya dan puteru pasaji. c. Upacara Rsi yajna antara lain kramaning madiksa, yajna samskara dan yang lainnya. d. Upacara manusa yajna antara lain dharma kahuripan, eka ratama, janmaprawrti, puja kalapati, puja kalib, dan yang lainnya. e. Upacara bhuta yajna antara lain eka dasa rudra, pancawalikrama, indik caru, puja palipali dan lain sebagainya. 
 2.2 Ajaran Siva Siddhanta 
            Disini Siva Siddhanta membahas mengenai Tattwa dan Filsafat. Apakah Tattwa dan Filsafat itu sama? Atau sebaliknya antara Tattwa dan Filsafat memiliki makna yang berbeda. Sekilas mari kita cermati hakikat tattwa dan filsafat. Kata tattwa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Tat = hakikat, kebenaran, kenyataan, twa = yang bersifat. Jadi disini tattwa dapat diartikan sebagai 1). Hakikat, kenyataan, kebenaran, hakikat dari objek yang kongkrit, sari-sari ajaran. Teks yang berisikan ajaran hakikat seperti : a. Bhuwanakosa, b. Wrhaspatitattwa, c. Ganapati tattwa, d. Tattwa Jnana. 2). Elemen, unsure. Dari pengertian tersebut bahwa Tattwa adalah hakikat atau kebenaran suatu unsure, baik yang nyata maupun yang tidak nyata termasuk hakikat Tuhan. Secara sederhana dapat diartikan sebagai hakikat kebenaran Tuhan beserta segala ciptaan-Nya. Kemudian kata Filsafat artinya 1. pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya, 2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan, 3. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan efistimology, 4. Falsafah. 
             Dari kedua pengertian diatas bahwa Tattwa dan Filsafat memiliki kesamaan makna yakni sama-sama menekankan pada hakikat dan kebenaran. Juga sama-sama mengkaji hal atau objek yang konkrit serta segala hakikat yang ada. Beberapa sumber lontar, seperti Bhuwana Kosa, Tattwa Jnana, Mahajnana, Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnansiddhanta, dan beberapa juga bercorak Monisme. Semua lontar di atas adalah berisikan ajaran mengenai paham Siwaitis. Adapaun penjelasan mengenai lotar di atas yakni : 
1. Bhuwana Kosa terdiri atas sebelas bab dan empat ratus delapan puluh tujuh sloka. sumber teksnya berbahasa Sansekerta dalam bentuk sloka. terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tahapan penciptaan (utpeti) oleh Bhatara Siwa seperti Bhatara siwa, purusa, Awyakta, Budhi, Ahangkara, Pancatanmatra, Manah, Akasa, Bayu, Agni, Apah dan Prthiwi. Sebaliknya proses peleburan (praline) oleh Bhatara Siwa meliputi : Prthiwi, apah, agni, bayu, akasa, pancatanmatra, ahangkara, budhi, awyakta, purusa dan kembali kehadapan Bhatara Siwa. 
2. Wrhaspatitattwa terdiri dari tujuh puluh empat sloka yang berbahasa Sansekerta dengan terjemahannya berbahasa Kawi. Isi utama naskah ini adalah dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati mengenai cetana sebagai unsure kesadaran dan acetana sebagai unsure ketidaksadaran. satu hal utama yang wajib dipelajari dari ajaran Wrhaspatitattwa adalah menyadari hakikat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari segala tattwa (jnanabhyudreka), tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga), dan tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (trsnadosaksaya). 
3. Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama Hindu secara dialog Dewa Siwa dengan Sang Hyang Ganapati. Isi naskah berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Proses penciptaan menurut Ganapati Tattwa yakni “tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsure yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata”. 
4. Mahajnana adalah mengenai ajaran kelepasan yang bersifat Siwaistis yakni memuliakan Dewa Siwa. Naskah ini terdiri atas delapan puluh tujuh sloka dalam bahasa Sansekerta yang terjemahannya dalam bahasa Kawi. Inti ajaran mahajana yakni bagaimana mencapai kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang Siwa. Ada tiga komponen utama yang dibicarakan yakni Purusa (unsure kesadaran), Pradhana (unsure ketidaksadaran) dan atma (unsure kebijaksanaan). “ untuk dapat mencapai alam itu maka seseorang (yogi) hendaknya mempersembahkan semua keinginannya, kemarahannya, kelobaannya, keirihatiannya kepada Bhatara Brahma yang akan dibakar dengan api Sang Hyang Ongkara, sehingga terbebas dari segala mala. Kemudian melakukan pemusatan pikiran yang tiada henti-hentinya kepada Bhatara Siwa melalui Swalingga atau atmalingga dan perwujudan lingga yang ada di luar diri dengan sarana mantra “Ong Sa Ba Ta A I” atau “Ong Namah Siwa ya”. Pada saat kematian akan mencapai kepada-Nya (Tim penyusun, 1999: 17)”. 
5. Tattwajnana mengandung ajaran ketuhanan Hindu terutama memuliakan Hyang Siwa. Ajaran Tattwajnana menguraikan dua unsure universal yakni cetana dan acetana. Unsure cetana merupakan komponen kesadaran yang disebut Siwatattwa dan unsure acetana merupakan unsure ketidaksadaran yang dinamai Mayatattwa. Unsure cetana atau Siwatattwa meliputi tiga komponen yakni Paramasiwatattwa (Bhatara Siwamaraga niskala), Sadasiwatattwa (Bhatara Siwa sudah tersentuh sarvajna, sarwakaryakarta, cadusakti, dan jnanasakti), dan Atmikatattwa (Bhatara Siwa dalam keadaan gaib atau utaprota, seperti api yang ada dalam kayu atau sebagai Bhatara Dharma yang tanpa pilih kasih bagai sinar matahari. Pertemuan sadar dan tak sadar dinamai Purusapradhana, yang elahirkan citta dan guna (sattwa, rajas dan tamas). Dari tri guna dan citta lahirlah buddhi, kemudian lahir ahangkara (ahangkara waikerta, taijasa, dan bhutadi). Ahangkara waikerta melahirkan manah dan dasendriya, taijasa melahirkan pancatanmatra serta pancamahabhuta, dan bhutadi saling membantu dalam proses penciptaan untuk mempertemukan pancamahabhuta sehingga melahirkan andhabhuwana misalnya sapta loka atau alam atas dan sapta patala atau alam bawah. Untuk penyatuan atma dan Bhawata Siwa maka ada jalan damai Prayogasandhi (asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, tarka, dan Samadhi). 
6. Jnanasiddhanta merupan naskah yang berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuna yang terdiri atas dua puluh tujuh bab yang inti ajarannya tentang kelepasan (moksa) untuk menyatukan atma dengan pencipta ( Hyang Siwa). Manusia diciptakan oleh Sang Hyang Siwa yang digambarkan seperti Omkara atau Pranava yakni dada, lengan, kepala dan rambut (ongkara, ardhacandra, vindu, nada) sedangkan tubuh bagian dalam yakni paru-paru, limpa, jantung, empedu, ati (ongkara, ardhacandra, vindu, nada, matra). Untuk mencapai kelepasan dapat ditempuh dengan enam jalan yoga yakni pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, taka dan Samadhi. 
2.3 Pengikut dari Siva Siddhanta 
           Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Siva Siddhanta adalah segenap umat Hindu yang tinggal di pulau Bali. Dalam perkembangan agama Hindu belakangan ini bahwa awalnya agama Hindu dengan paham Siva Siddhanta tersebut yang berasal dari India terutama dari India selatan tepatnya di daerah Tamil Nadu, bahwa pengikut Siva Siddhanta selain umat Hindu yang asli dari tanah Bharatiya, maka filsafat Siva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para sadharma atau umat Hindu yang asli Indonesia, diantaranya : Umat Hindu yang tinggal di Kalimantan, umat Hindu yang tinggal di Sulawesi, umat Hindu di Sumatra, umat Hindu di Jawa, umat Hindu di Lombok, umat Hindu di Sumbawa, umat Hindu di Sumba, di Papua, dan sebagainya. Kemudian kalau di pulau Dewata bahwa pengikut Siva Siddhanta adalah umat Hindu pada umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak perbedaan yang menjolok walaupun dari pada bhakta adalah pengikut Vaisnawa dan yang lainnya, tetapi sama sebagai penyembah dan pemuja Hyang Siva. 
             Beliau Sang Hyang Siva sangat dimuliakan dan dihormati melalui pelaksanaan sembah bhakti oleh segenap umat Hindu. Tidak adanya perbedaan yang mencolok dalam pemujaannya, juga dalam melakukan bhakti ke tempat suci atau dipura, oleh karena dalam pelaksanaan pemujaan telah diakomodir melalui sembah, melalui doa, serta melalui penempatan para dewata dalam tempat suci itu sendiri. Demikian juga dalam pelaksanaan gita atau nyanyian suci agama Hindu, bahwa semua aspek atau semua ista dewata Hyang Widhi dimuliakan oleh umat Hindu melalui gita tersebut. Dalam hal ini bahwa pengikut Siva Siddhanta menampakkan adanya kekompakan dan kesatuan dan pemahaman filosofisnya, ritualnya, etikanya, maupun dalam konteks social, budaya, adat istiadatnya yang selalu bergandengan tangan secara rutin, baik dalam tatanan rumah tangga keluarga (pariwaram), tatanan banjar pakraman, tatanan desa pakraman atau desa adat serta komunitas lainnya dalam masyarakat Bali. 
 2.4 Orang Sucinya 
            Walaupun agama Hindu yang berkembang sampai ke Bali sangat jauh kebelakang dari segi perjalanan masa waktu keberadaan agama Hindu di India serta juga paham Siva Siddhanta berkembang ke Bali, maka umat Hindu telah hormat dan bhakti kehadapan para orang suci Hindu baik yang dari India maupun orang suci asli Indonesia. Dalam agama Hindu ada beberapa orang suci. Orang suci adalah sangat besar jasanya terhadap perkembangan dan penyebaran agama Hindu kepada umat di dunia ini. Tanpa orang suci, maka agama Hindu sulit untuk berkembang. Justru dengan demikian peranan orang suci sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan agama Hindu. Orang suci umat Hindu secara umum disebut dengan nama Rsi. Dalam tulisan ini ada beberapa orang suci bagi umat Hindu antara lain : 
a. Bhagawan Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam kitab Purana. Beliau sebagai pendiri keluarga/warga Bhargawa. 
b. Bhagawan Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai penerima wahyu suci Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu di kota Prayaga yang kini dinama kota Alahabad. Pada kota Prayaga ini adalah sebagai tempat suci Hindu, oleh karena disana terdapat campuhan (sangam) daripada sungai gangga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak Nampak). Pada saat bulan januari-februari segenap umat Hindu melakukan pensucian diri di tempat suci ini oleh karena dilaksanakan upacara Kumbha Mela setiap tahun, upacara Adha Mela setiap enam tahun dan upacara Maha Kumbha Mela setiap dua belas tahun sekali. 
c. Rsi Agastya sebagai orang suci lahir di kota Kashia tau Benares India Utara (Uttar Pradesh). Beliau telah menyebarkan ajaran agama Hindu di India dan termasuk sampai di Indonesia dan di Bali. 
d. Bhagawan Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan Angira yang merupakan orang suci yang terkenal bagi umat Hindu. 
e. Mpu Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kakawin Sutasoma. Beliau memiliki empat putra yaitu Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Sidhimantra, dan Mpu Kapakisan. 
f. Mpu Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Hindu di Indonesia dan di Bali Khususnya. Beliau mengajarkan ajaran Tri Murti dan mengajarkan konsep Tri Kahyangan di setiap desa adat atau di desa pakraman di Bali.  
g. Mpu Bharadah sebagai orang suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan. Kebesaran nama Mpu Bharadah sangat terkenal di Bali dan Mpu Bharadah ada dimuliakan di salah satu pura di kompleks Pura Besakih. 
h. Rsi Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali datang ke Bali untuk menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah Jawa menuju Bali beserta dengan beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali dijadikan lahan pertanian dan sekaligus menata kehidupan beragama Hindu di Bali. 
i. Dang Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirartha. Jikalau di Bali beliau bergelar Padanda Sakti Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan Semeru dan di Sumbawa bergelar Pangeran Sangupati. Banyak tempat suci yang telah beliau bangun di Pulau Bali seperti Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Tanah Lot, Pura Peti Tenget, Pura Uluwatu, Pura Air Jeruk, Pura Batuk Klotok, dan lain-lainnya. j. Dang Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Budha Mahayana dari Majapahit dan di Bali beliau mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan Denpasar Selatan. 
2.5 Peranan Padma Tiga di Besakih sebagai Konsep Tuhan Siwa. 
            Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa. 
             Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu. Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. 
            Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan. Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. 
           Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina. Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan. 
              Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing. Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. 
               Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu. 
 2.6 Hari Suci Menurut Falsafah Siva Siddhanta 
          Hari suci merupakan hari yang baik bagi umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beberapa Hari Suci Hindu antara lain : 
1. Hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada Budha Kliwon Dungulan.   Pada hari raya Galungan umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terutama dilakukan di Pura Keluarga (pamerajan, Sanggah Gede, Dadia, Kawitan, Kamulan, Taksu dan lain-lainnya), Pura Kahyangan Desa, serta kahyangan jagat lainnya. Perayaan galungan juga merupakan hari baik menyatakan rasa terima kasih kehadapan Tuhan. Saat hari raya ini juga dinyatakan juga sebagai hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas ketidakbenaran (Adharma). Perayaan Galungan di mulai pada Sabtu Kliwon Wariga sampai dengan rangkaian terakhir pada Bhuda Kliwon Pahang. Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah penyekeban/penyajaan, pengejukan, penampahan, puncak perayaan Galungan dan umanis Galungan. 
 2. Hari raya Kuningan yang dirayakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, sepuluh setelah perayaan Galungan. Hari Kuningan juga diawali dengan rangkaian Penampahan Kuningan, Puncak Perayaan Kuningan dan Ulihan. 
3. Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung, umumnya perayaan ini dikenal dengan nama Piodalan Sang Aji Saraswati atau piodalan Sang Hyang Pangeweruh. Makna yang dikandung dari perayaan Saraswati adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci Weda dan sains lainnya untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Puncak perayaan saraswati adalah dengan melakukan persembahyangan di Pura untuk memuja Dewi Saraswati sebagai dewinya ilmu pengetahuan, seni dan kebudayaan. Kesimpulannya bahwa ilmu pengetahuan itu menjadikan manusia itu sebagai manusia yang sempurna, sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Ilmu pengetahuan itu penting bagi umat manusia baik jnana dan wijnana. 
 4. Hari raya Pagerwesi adalah sebagai hari pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Sang Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari raya ini bermakna untuk memohon kekuatan hidup baik secara fisik dan nonfisik (wahyu Adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk memohon kekuatan dan kemantapan sraddha dan bhakti umat Hindu. 
5. Hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih kedasa. Rangkaian upacara hari raya Nyepi diawali dengan pelaksanaan melasti ke Segara/samudra untuk memohon tirtha amertha atau air suci kehidupan serta untuk menghanyutkan segala mala pataka/dosa/papa, kemudian dilanjutkan dengan pengerupukan/mebuu-buu serta pelaksanaan upacara Tawur Kasanga di setiap lingkungan desa terutama bertempat di perempatan jalan (catus pata) yang jatuh pada Tilem Sasih Kasanga. Setelah itu sehari kemudian merupakan puncak perayaan hari raya Nyepi, yang juga di kenal dengan perayaan tahun baru saka pada penanggal pisan sasih kedasa. Perayaan Nyepi telah diakui sebagai hari libur Nasional oleh pemerintah berdasarkan kepres no.3 tahun 1983, tertanggal 3 Januari 1983. Pada perayaan Nyepi bahwa umat Hindu melakukan catur Brata Penyepian seperti Amati Geni ( tidak menyalakan api), Amati Karya ( tidak bekerja), Amati Lelungaan (tidak berpergian), dan Amati Lelanguan ( tidak menikmati hiburan). Sebagai terakhir dari perayaan Nyepi adalah pelaksanaan Dharma Santih atau pelaksanaan sima karma dari segenap umat Hindu untuk dapat saling memaafkan dan saling mempererat hubungan persahabatan dan kekeluargaan di antara sesame umat Hindu dan sesama umat yang lainnya. 
6. Hari Sawaratri yang berarti malam Siwa. Siwa adalah sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki kekuasaan untuk Pemeralina. Dalam naskah Siwaratrikalpa dijelaskan bahwa Bhatara Siwa melakukan yoga untuk keselamatan dunia beserta segenap isinya bertepatan dengan caturdasi kresnapaksa atau pangelong ping patbelas sasih kapitu. Saat itu di pilih oleh Bhatara Siwa untuk beryoga, karena merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik melakukan pemujaan kehadapan Bhatara Siwa. Saat Siwaratri maka umat Hindu melakukan tapa brata yoga dan Samadhi. Waktu pelaksaannya selama 36 jam. Jenis brata dapat dilakukan berupa upawasa (tidak makan dan tidak minum), monabrata (tidak berbicara/selalu hening), dan jagra (tidak tidur). Jenis upawasa ini berlaku secara luwes dan sesuai dengan kemampuan umat Hindu. Pelaksanaan perayaan Siwaratri dapat pula dilakukan dengan rembug sastra atau dengan membaca doa, membaca pustaka suci Hindu baik berupa kakawin, sloka maupun sastra yang lainnya. 
7. Hari Purnama dan Tilem, saat purnama dan tilem merupakan hari baik untuk melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hari Purnama (Purnima) adalah hari bulan terang. Hari Tilem (Amawasya) merupakan hari bulan mati/bulan gelap. Pada hari Purnama merupakan hari payogan Sang Hyang Candra, sedangkan pada hari Tilem merupakan hari payogan Sang Hyang Surya. Itulah hari- hari suci yang ada di Bali. Hari suci lainnya ada berupa Bhuda Kliwon, Anggara Kliwon, Saniscara Kliwon, Kajeng Kliwon, serta yang lainnya. 
2.7 Penerapan Siva Siddhata di Bali 
          Penerapan Siva Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama Hindu yang dikelompokkan ke dalam lima bagian besar yang dinamai Panca Yajna yakni : 
1. Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem dan sebagainya. 
2. Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya yang bertujuan untuk melakukan penyucian diri serta peningkatan kualitas hidup manusia, yang pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara agama seperti : upacara magedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mavivaha, pawintenan, dan sebagainya. 
3. Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan para orang tua selama masih hidup maupun setelah mati kehadapan para pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbhakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna dan lainnya. 
4. Rsi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para rsi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan serta menuntun umat, yang pelaksanaannya dengan mentaati ajaran para rsi, memberikan pelayanan kepada para rsi dan sebagainya. 
5. Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau makhluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.  

BAB III 
PENUTUP 
3.1 Kesimpulan 
          Dari materi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan Siva Siddhanta di Bali bersumber dari ajaran Weda dan Sumber suci dalam naskah Tradisional dengan berpedoman pada ajaran Tattwa dan Filsafat. Penerapan Siva Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama Hindu yang dikelompokkan ke dalam lima bagian besar yang dinamai Panca Yajna. Pengikut dari Siva Siddhanta di Bali adalah segenap Umat Hindu yang ada di Bali. Adapun beberapa orang-orang suci yang di bahas dalam Siva Siddhanta diantaranya : Bhagawan Bhrigu, Bhagawan Bharadwaja, Rsi Agastya, Bhagawan Brihaspati, Mpu Tantular, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Rsi Markandeya, Dang Hyang Dwi Jendra, Dang Hyang Astapaka. Disini Siva Siddhanta juga membahas mengenai hari-hari suci yang ada agama Hindu yang meliputi : Hari raya Kuningan, Hari raya Saraswati, Hari raya Pagerwesi, Hari raya Nyepi, Hari Sawaratri, Hari Purnama dan Tilem. Hari suci lainnya ada berupa Bhuda Kliwon, Anggara Kliwon, Saniscara Kliwon, Kajeng Kliwon, serta yang lainnya.
   
DAFTAR PUSTAKA 
Subagiasta, I Ketut. 2006. Saiva Siddhanta di India dan di Bali. Paramita : Surabaya. www.geogle.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar