BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan hal
yang sangat perlu untuk kita pelajari. Karena dari sejarahlah kita tahu
mengenai apa, bagaimana suatu hal terjadi dan ada. Seperti sejarah mengenai
terbentuknya kesepakatan nama hindu. Kita tidak pernah tahu secara jelas kapan
terbentuk nama Hindu dan apa itu Hindu. Menurut R. Antoine sangatlah sulit untuk mendefinisikan
Hinduisme, karena “Hinduisme bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang
harus dipatuhi oleh semua orang. Hinduisme lebih merupakan sebuah federasi
berbagai pendekatan terhadap realitas yang berada di balik kehidupan”. Selain
pluralitas doktrin, aliran serta latihan, ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi
sulit. Pertama Hinduisme tidak memiliki pendiri seperti dalam Buddhihisme,
Kristen dan Islam. Kedua Hinduisme tidak memiliki tubuh otoritas yang
merumuskan batas-batas dogma. Maka dari itu sangat sulit untuk mendefinisikan
Hindu itu. Oleh karena itu disini kami
akan menjelaskan mengenai asal-usul nama Hindu
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana asal usul terbentuknya
kesepakatan kata Hindu?
1.2.2
Bagaimana perkembangan Agama Hindu?
1.2.3
Bagaimana seberapa besar penganut Agama Hindu setelah
terbentuk kesepakatan kata Hindu?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui asal usul terbentuknya
kesepakatan kata Hindu.
1.3.2
Untuk mengetahui penyebaran Agama Hindu.
1.3.3
Untuk mengetahui seberapa besar penganut
Agama Hindu setalah terbentuk kesepakatan Hindu
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Terbentuknya sebuah Kesepakan Kata
Hindu
Pendiri Hinduisme tidak diketahui dan titik awalnya merujuk
pada masa pra-sejarah. Hinduisme juga merupakan tradisi religious utama yang
tertua. Menurut Yong Choon Kim, Hinduisme juga seringkali disebut sebagai agama
ahistoris dan nonhistoris, karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada
pendiri tunggal. Menurut tradisi, seseorang tidak dapat menjadi seorang Hindu
kecuali ia dilahirkan dalam keluarga Hindu.
Nama asli dari agama ini adalah Sanatana Dharma atau Vaidika
Dharma. Kata Sanatana Dharma berarti Agama yang bersifat abadi dan akan selalu
dipedomani oleh umat manusia sepanjang masa, karena ajaran yang disampaikan
adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman
hidup manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu (Pasek, 2012
: 5).
Tidak banyak yang tahu soal asal mula agama Hindu. Hal ini
karena sejarah agama tersebut telah ada sebelum masa penulisan sejarah
berkembang. Agama Hindu diyakini terbentuk dari beberapa keyakinan yaitu,
keyakinan bangsa Arya dan keyakinan bangsa Dravida.
Agama ini tidak seperti agama-agama lain, dalam agama Hindu
tidak dapat diketahui secara pasti siapa pembawa pertama ajaran-ajarannya. Ini
merupakan salah satu kesulitan dalam mempelajari agama Hindu.
Kita
harus ingat bahwa istilah “Hindu” itu bahkan bukan istilah Sansekerta. Banyak
ahli mengatakan bahwa itu tidak ditemukan di dalam Sastra Veda manapun. Jadi
bagaimana bisa nama seperti itu mewakili jalan atau tradisi Veda? Dan tanpa
sastra Veda, tidak ada dasar untuk “Hinduisme.” Banyak ahli merasa bahwa nama
“Hindu” telah dikembangkan oleh pihak lain, para penyerbu yang tidak bisa
menyebut nama Sungai Sindhu dengan baik. Menurut Sir Monier Williams,
leksikografer, Sanskerta, tidak dapat menemukan akar pribumi untuk kata-kata
Hindu atau India. Tidak juga kata-kata tersebut ditemukan dalam setiap
teks-teks Buddha atau Jain, atau salah satu dari 23 bahasa resmi India.
Perkembangan agama Hindu tidak dapat lepas dari peradaban
lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan
budaya Hindu. Dari tempat tersebut mulai menyebarkan agama Hindu ke tempat lain
di dunia. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Arya (cirinya
kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mahenjodaro dan Harappa melalui
celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida
(berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang
telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti
berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Arya sendiri termasuk
dalam ras Indo Jerman. Awalnya bangsa Arya bermatapencaharian sebagai peternak
kemudian setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Arya merasa ras
mereka yang tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida.
Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya.
Setelah
bangsa Arya menempati sungai Indus, bercampurlah mereka dengan penduduk asli
bangsa Dravida. Semula orang beranggapan bahwa kebudayaan India itu seluruhnya
merupakan kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya, tetepi setelah
penggalian–penggalian di Mahenjodaro dan Harappa, berubah pandangan orang.
Ternyata kebudayaan bangsa Arya lebih rendah dari pada bangsa Dravida. Jadi
dapat dikonstatasi dengan jelas, bahwa agama Hindu tumbuh dari dua sember
yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang
berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu.
Orang Arya
mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan
bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida. Oleh
karena itu, Agama Hindu yang berkembang sebenarnya merupakan sinkretisme
(percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Arya dan bangsa Dravida.
Selain itu, istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama
Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut
agama dan kebudayaan Hindu. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida
yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Daerah perkembangan pertamanya terdapat
di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan
Hindustan (tanah milik bangsa Hindu).
Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah
dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut
bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang
termuat dalam Zend Avesta — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran.
Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru
terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para
brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum
muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.
Agama Hindu lahir dan berkembang pertama kalinya dilembah
sungai suci Sindhu di India. Agama Hindu adalah sebuah agama yang
berasal dari anak
benua India.
Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan
sebangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul
antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar
di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan
jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Sebenarnya agama Hindu bukanlah agama dalam arti yang biasa.
Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi zaman
kira-kira 1.500 SM sehingga zaman sekarang. Dalam perjalanannya di sepanjang
abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi, sehingga
memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang
diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diutamakan sama sekali. Pada zaman
munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih
mengenal sebagai ajaran Weda.
Pada zaman kuno oleh penduduknya, India disebut Jambhudvipa
yang artinya benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa yang artinya tanah
keturunan Bharata. Nama India dijelaskan dari nama sungai Sindhu yang mengairi
daerah Barat India. Bangsa Persia menyebut sungai itu dengan sungai Hindu.
Kemudian nama ini diambil alih oleh orang Yunani, sehingga nama itulah yang
terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil alih oleh pemerintah India
sekarang ini. Ketika agama Islam dating di India nama yang diberikan oleh
bangsa Persia timbul kembali dalam istilah Hindustan, sedangkan penduduknya
yang masih memeluk agama India asli disebut orang Hindu.
Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana
Dharma yang berarti agama yang kekal atau Vaidika Dharma, yang berarti agama
yang berdasarkan kitab suci Weda. Dengan ungkapan ini orang Hindu menyatakan
keyakinan bahwa agama tidaklah terikat oleh zaman. Agama ada bersamaan dengan
hidup, sebab agama adalah makanan rohani manusia.
Dipakai nama Agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma
mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata
agama dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks pembicaraan kita saat ini
pengertian Dharma disamakan dengan Agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu
Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang
Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan
ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai
Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang
dating kemudian menyebutnya dengan India. Pada mjlanya wilayah yang membentang
dari lembah sungai Sindhu yang sampai kini bernama Srilanka, Pakistan,
Bangladesh dan Bahkan yang disebut juga dengan Jambhudvipa.
Beberapa sumber
melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu
menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang
Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus ketika Alexander menyerbu India
sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur
Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris.
Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak
orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Kemudian, ketika penyerbu
Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut
Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk
menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di
mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena
suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut
“Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak
menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk
mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di
daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut
sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama
Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali
orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan.
Sebuah
pemandangan lain tentang nama “Hindu” menunjukkan kebingungan alami untuk
mengerti esensi sebenarnya dari jalan spiritual India. Seperti yang ditulis
oleh RN Suryanarayan dalam bukunya Agama Universal (p.1-2, yang diterbitkan di
Mysore pada tahun 1952), “Situasi politik di negara kita sejak berabad lalu,
sebut saja 20-25 abad, telah membuatnya sangat sulit untuk memahami sifat
bangsa ini dan agamanya. Sarjana Barat, dan sejarawan, juga, telah gagal untuk
melacak nama sejati ini Tanah Brahman, benua yang luas seperti negara, dan oleh
karena itu, mereka telah puas diri dengan menyebutnya dengan istilah yang
berarti ‘Hindu’. Kata ini, yang merupakan inovasi asing, tidak terbuat dari
penggunaan oleh penulis Sansekerta kami dan Acharya yang dihormati dalam
karya-karya mereka. Tampaknya kekuasaan politik bertanggung jawab untuk
terus-menerus menekankan penggunaan kata Hindu. Kata Hindu ditemukan, tentu saja,
dalam sastra Persia. Hindu-e-Falak berarti ‘kegelapan dari langit’ dan
‘Saturnus’. Dalam bahasa Arab Hind bukan Hindu berarti
bangsa. Hal ini memalukan dan menggelikan telah membaca selama ini dalam
sejarah bahwa nama Hindu diberikan oleh orang-orang Persia kepada penduduk
negara kami ketika mereka mendarat di tanah suci Sindhu.”
Lokasi di mana
kata “Hindu” terjadi untuk apa beberapa orang merasa pertama kalinya dalam
Avesta dari Iran dalam deskripsi negara India dan rakyatnya. Seperti
negara agama Zorastrime, kata tampaknya mengambil makna yang menghina. Dan
tentu saja sebagai mana Islam menyebar di India, kata “Hindu” dan “Hindustan”
menjadi semakin tidak dihormati dan bahkan dibenci di arena Persia, dan lebih
menonjol dalam sastra Persia dan Arab setelah abad ke-11. Menurut pandangan
lain, sumber nama Hindu didasarkan pada makna menghina. Dikatakan bahwa, “Selain
itu, benar bahwa nama ini (Hindu) telah diberikan kepada ras Arya asli daerah
penyerbu Muslim untuk mempermalukan mereka. Dalam bahasa Persia, kata penulis
kami, kata tersebut berarti budak, dan menurut Islam, semua orang yang tidak
memeluk Islam disebut sebagai budak. “(Dayanand Saraswati Shri Maharishi Aur
Unka Kaam, diedit oleh Lala Lajpat Rai, diterbitkan di Lahore, 1898 dalam
Pendahuluan).
Lebih jauh
lagi, sebuah kamus Persia berjudul Lughet-e-Kishwari, diterbitkan di Lucknow
pada tahun 1964, memberikan arti kata Hindu sebagai “tugas (pencuri), dakoo
(Perampok), raahzan (waylayer), dan Ghulam (budak).” Di kamus lain, bahasa
Urdu-Feroze-ul-Laghat (Bagian Pertama, hal 615) Persia arti kata Hindu adalah
lebih lanjut digambarkan sebagai Barda (hamba yang taat), sia faam (warna
hitam) dan kaalaa (hitam). Jadi semua ini adalah ungkapan menghina untuk
menerjemahkan istilah Hindu sebagai label Persia atas rakyat India. Jadi, pada
dasarnya, Hindu hanyalah kelanjutan dari istilah seorang muslim yang menjadi
populer hanya dalam 1300 tahun terakhir. Dengan cara ini, kita dapat memahami
bahwa ini bukan istilah Sansekerta yang valid, juga tidak ada hubungannya
dengan budaya Veda atau jalan spiritual Veda. Tidak ada agama yang pernah ada
yang disebut “Hinduisme” sampai orang-orang India pada umumnya memberi nilai
pada nama itu, seperti yang diberikan oleh mereka yang didominasi atas mereka,
dan menerima penggunaannya. Selanjutnya, istilah telah digunakan untuk
menyampaikan konotasi merendahkan. Jadi, apakah itu tidak mengherankan bahwa
beberapa acharya India dan organisasi Weda tidak peduli untuk menggunakan
istilah?
Kebingungan
yang sesungguhnya dimulai ketika nama “Hindu” digunakan untuk menunjukkan agama
orang India. Kata-kata “Hindu” dan “Hinduisme” sering digunakan oleh Inggris
dengan efek fokus pada perbedaan agama antara kaum muslim dan orang-orang yang
menjadi dikenal sebagai “Hindu”. Ini dilakukan dengan niat yang agak sukses
menciptakan gesekan di kalangan masyarakat India. Hal ini sesuai dengan
kebijakan Inggris atas pembagian dan aturan untuk membuatnya lebih mudah bagi
mereka yang terus berkuasa atas negeri itu. Namun, kami harus menyebutkan bahwa
orang lain yang mencoba untuk membenarkan kata “Hindu” sekarang adalah gagasan
dari para Resi terdalu, beberapa ribu tahun yang lalu, juga disebut India
tengah Hindustan, dan orang-orang yang tinggal di sana adalah Hindu. Sloka
berikut, dikatakan dari Vishnu Purana, Padma Purana dan Samhita Bruhaspati,
diberikan sebagai bukti, namun saya masih menunggu untuk mempelajari lokasi
yang tepat di mana kita dapat menemukan ayat ini:
Beberapa
referensi lain yang digunakan, meskipun lokasi yang tepat tidak saya yakini,
meliputi:
Himalayam Samaarafya Yaavat
Hindu Sarovaram
Tham Devanirmmitham desham
Hindustanam Prachakshathe
Himalyam muthal Indian maha
samudhram vareyulla
devanirmmithamaya deshaththe
Hindustanam ennu parayunnu
Ini menunjukkan bahwa daerah
antara Himalaya dan Samudera Hindia disebut Hindustan. Dengan demikian,
kesimpulan dari hal ini adalah bahwa semua orang India beragama Hindu tanpa
memandang kasta dan agama. Tentu saja, tidak semua orang akan setuju dengan
itu.
Orang lain
mengatakan bahwa di dalam Rig Veda, Bharata disebut sebagai negara “Sapta
Sindhu”, yaitu negara tujuh sungai besar. Hal ini tentu saja dapat diterima.
Namun, tepatnya bab dan buku yang dapat berasal dari sloka ini perlu
diluruskan. Meski demikian, beberapa orang mengatakan bahwa kata “Sindhu”
merujuk pada sungai dan laut, dan tidak hanya ke sungai tertentu yang disebut
“Sindhu”. Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa dalam Weda Sansekerta, menurut kamus
kuno, “sa” diucapkan sebagai “ha”. Jadi “Sapta Sindhu” diucapkan sebagai “Hapta
Hindu”. Jadi, ini adalah bagaimana kata “Hindu” dianggap telah terwujud. Hal
ini juga mengatakan bahwa Persia kuno Barat disebut sebagai “Hapta Hind”,
sebagaimana dicatat dalam klasik kuno mereka “Bem Riyadh”. Jadi, ini adalah
alasan lain mengapa beberapa ahli mulai percaya bahwa kata “Hindu” itu berasal
di Persia.
Teori lain
adalah bahwa nama “Hindu” bahkan tidak berasal dari nama Sindhu. Mr A. Krishna
Kumar dari Hyderabad, India menjelaskan. “Ini (Sindhu / Hindu) Pandangan ini
tidak dapat dipertahankan karena India pada waktu itu mengagumkan peringkat
tertinggi di dunia dalam hal peradaban dan kekayaan tidak akan tanpa nama.
Mereka tidak aborigin yang tidak diketahui yang menunggu untuk ditemukan,
diidentifikasi dan dibaptis oleh orang asing. “Dia mengutip sebuah argumen dari
buku Self-Government di India oleh NB Pavgee, yang diterbitkan pada tahun 1912.
Penulis menceritakan Swami tua dan sarjana sanskrit Mangal Nathji, yang
menemukan Purana kuno yang dikenal sebagai Sham Brihannaradi di desa,
Hoshiarpur, Punjab. Itu berisi sloka ini:
himalayam samarabhya yavat
bindusarovaram
hindusthanamiti qyatam hi
antaraksharayogatah
Sekali lagi
lokasi yang tepat dari sloka tersebut dalam Purana hilang, tapi Kumar
menerjemahkannya sebagai: “Negeri yang terletak di antara pegunungan Himalaya
dan Bindu Sarovara (laut Cape Comorin) dikenal sebagai Hindusthan oleh
kombinasi dari huruf pertama ‘hi’ dari ‘Himalaya’dan senyawa terakhir huruf
‘ndu’dari kata ‘Bindu’.”
Hal ini tentu saja dianggap
telah melahirkan nama “Hindu”, menunjukkan asal pribumi. Kesimpulan bahwa
orang-orang yang tinggal di daerah ini dengan demikian dikenal sebagai “Hindu”.
Jadi sekali
lagi, dengan cara apapun teori-teori ini dapat menyajikan informasi mereka, dan
dengan cara apa pun melihat itu, nama “Hindu” mulai hanya sebagai tubuh dan
penunjukan daerah. Nama “Hindu” menunjuk ke sebuah lokasi dan orang-orang dan
awalnya tidak ada hubungannya dengan filsafat, agama atau budaya rakyat, yang
pasti bisa berubah dari satu hal ke hal lain. Hal ini seperti mengatakan bahwa
semua orang dari India adalah India. Tentu saja, yang dapat diterima sebagai
nama yang mengacu ke sebuah lokasi, tapi bagaimana dengan agama mereka, iman
dan filsafat? Ini dikenal dengan banyak nama sesuai dengan berbagai pandangan dan
keyakinan. Jadi, mereka tidak semua orang Hindu, karena banyak orang yang tidak
mengikuti sistem Veda sudah keberatan dengan menyebut diri mereka dengan nama
itu. Maka “Hindu” bukanlah nama yang paling tepat dari sebuah jalan spiritual,
tetapi istilah sanskrit Sanatana-dharma jauh lebih akurat. Budaya India kuno
dan sejarah awal mereka adalah budaya Veda atau Veda Dharma. Sehingga lebih
tepat untuk menggunakan nama yang didasarkan pada budaya bagi mereka yang
mengikutinya, bukan nama yang hanya alamat lokasi suatu bangsa.
Tampaknya hanya
dengan raja-raja Veda kekaisaran Wijayanagara pada tahun 1352 adalah kata
“Hindu” digunakan dengan bangga oleh Bukkal yang menggambarkan dirinya sebagai
“Hinduraya suratrana”. Sedangkan teks-teks Sansekerta utama, dan bahkan
ritual-ritual yang telah dilakukan di kuil-kuil dari ribuan tahun yang lalu,
menggunakan kata “Bharata” dalam referensi ke daerah saat ini india. Oleh
karena itu, secara tradisional dan secara teknis lebih akurat untuk merujuk ke
tanah India sebagai “Bharata” atau “Bharat varsha”.
Sayangnya, kata
“Hindu” secara bertahap telah diadopsi oleh hampir semua orang, bahkan orang-orang India, dan
sekarang diterapkan dalam cara yang sangat umum, begitu banyak sehingga,
sebenarnya, bahwa sekarang “Hindu” sering digunakan untuk menjelaskan apa-apa
dari kegiatan keagamaan bahkan kegiatan sosial India atau nasionalistis.
Beberapa dari apa yang disebut “Hindu” peristiwa-peristiwa yang tidak didukung
dalam literatur Veda, dan, karenanya, harus dianggap non-Veda. Dengan demikian,
tidak sembarang orang bisa menyebut diri mereka sebagai “Hindu” dan masih
dianggap sebagai pengikut jalan Veda. Juga bisa santai setiap aktivitas dapat
disebut sebagai bagian dari Hindu dan berpikir panjang dianggap sebagai bagian
dari budaya Veda sejati.
Oleh karena
itu, jalan spiritual Veda lebih tepat disebut Sanatana-dharma, yang berarti abadi, pendudukan jiwa yang tidak berubah
dalam hubungannya dengan Yang Mahatinggi. Sama seperti dharma dari gula adalah
menjadi manis, ini tidak berubah. Dan jika tidak manis, maka itu bukan gula.
Atau dharma dari api adalah untuk memberi kehangatan dan cahaya. Jika tidak
seperti itu, maka itu bukan api. Dengan cara yang sama, ada Dharma tertentu
atau sifat dari jiwa, yang Sanatana, atau abadi. Itu tidak berubah. Jadi ada
keadaan dharma dan jalan dharma. Mengikuti prinsip-prinsip Sanatana-dharma
dapat membawa kita kepada keadaan yang murni memperoleh kembali identitas
rohani kita yang terlupakan dan hubungan dengan Tuhan. Ini adalah tujuan dari
pengetahuan Veda dan sistem realisasi diri. Dengan demikian, pengetahuan
tentang Veda dan semua literatur Veda, seperti pesan Krsna dalam Bhagavad-gita,
serta ajaran-ajaran Upanishad dan Purana, tidak terbatas hanya “Hindu” yang
terbatas pada wilayah tertentu atas planet atau keluarga kelahiran. Pengetahuan
semacam itu sebenarnya dimaksudkan untuk seluruh dunia. Seperti setiap orang
adalah makhluk rohani dan memiliki esensi spiritual yang sama seperti yang
dijelaskan sesuai dengan prinsip-prinsip Sanatana-dharma, maka setiap orang
harus diberi hak dan hak istimewa untuk memahami pengetahuan ini. Hal ini tidak
dapat diadakan untuk kelompok atau wilayah eksklusif suatu penduduk.
Sanatana-dharma
juga berkembang penuh filosofi spiritual yang mengisi celah-celah apa pun dapat
dibiarkan oleh ajaran-ajaran filosofis agama lain yang kurang berkembang.
Pengetahuan langsung tentang jiwa adalah sebuah “universal kebenaran rohani”
yang dapat diterapkan oleh semua orang, dalam setiap bagian dunia, di setiap
saat dalam sejarah, dan dalam setiap agama. Ini adalah abadi. Oleh karena itu,
sebagai sebuah kebenaran rohani abadi, itu melampaui semua waktu dan sebutan
duniawi. Pengetahuan tentang jiwa adalah esensi dari kebijaksanaan Veda dan
lebih daripada apa arti nama “Hindu”, terutama setelah memahami dari mana nama
itu datang.
Bahkan jika
waktunya tiba pada zaman buruk Kali-Yuga setelah banyak ribuan tahun ketika
agama Kristen, Islam, Buddha, dan bahkan agama Hindu (seperti yang kita sebut
sekarang) mungkin hilang dari muka bumi, masih akan ada ajaran-ajaran Veda yang
tetap sebagai sebuah kebenaran spiritual dan universal, bahkan jika kebenaran
tersebut mungkin akan dilupakan dan harus didirikan kembali lagi di dunia ini
oleh Tuhan Krsna sendiri. Aku ragu kemudian bahwa Beliau akan menggunakan nama
“Hindu.” Beliau pasti mengatakan apa yang Beliau katakan ketika Beliau
menyabdakan Bhagavad-gita terakhir kali. Jadi, meskipun saya tidak merasa bahwa
“Hindu” adalah istilah yang tepat untuk mewakili budaya Arya Veda atau jalan
spiritual, saya juga menggunakan kata itu dari waktu ke waktu untuk arti yang
sama karena sudah jadi bagian dari kosa kata semua orang . Kalau tidak, karena
saya mengikuti jalan Veda Sanatana-dharma, saya menyebut diriku
Sanatana-dharmist. Yang mengurangi kebutuhan untuk menggunakan label “Hindu”
dan juga membantu memusatkan perhatian pada sifat universal jalan Veda. Oleh
karena itu, saya mengusulkan bahwa semua orang yang menganggap dirinya sebagai
orang Hindu mulai menggunakan istilah ini Sanatana-dharmist, yang tidak hanya
mengacu pada terminologi Sansekerta yang benar, tapi juga lebih akurat
menggambarkan karakter dan spiritual maksud sesungguhnya dari jalan Veda. Orang
lain juga telah menggunakan istilah Sanatanis atau bahkan Dharmists, keduanya
lebih dekat ke arti sesungguhnya dalam budaya Weda.Namun, untuk tujuan-tujuan
politik dan hukum mungkin nyaman untuk terus menggunakan nama Hindu untuk
sementara waktu. Sampai istilah Sanatana-dharma
atau Dharma Veda menjadi lebih diakui oleh hukum internasional dan masyarakat
pada umumnya, “Hindu” dapat tetap berada di belakang istilah yang digunakan
untuk pawai budaya Veda. Tapi dalam jangka panjang, itu adalah nama yang akan
berubah dalam arti pandangan yang berbeda-beda karena kurangnya dasar
linguistik yang nyata. Hanya didasarkan pada nilai-nilai orang-orang tempat di
dalamnya, makna dan tujuan akan bervariasi dari orang ke orang, budaya ke budaya,
dan tentu saja dari generasi ke generasi. Kita bisa melihat bagaimana hal ini
terjadi dengan orang Inggris di India. Jadi, akan ada pelestarian masalah
dengan nama dan mengapa beberapa orang dan kelompok tidak akan mau menerimanya.
Namun dengan terus-menerus dan meningkatnya penggunaan istilah Sanatana dharma
atau Veda-dharma, setidaknya oleh orang-orang yang lebih sadar akan definitif
dasar sanskrit istilah-istilah ini, mereka akan memperoleh pengakuan sebagai
istilah yang lebih tepat. Itu hanya butuh waktu untuk membuat penyesuaian yang
tepat.
Ini adalah cara
untuk membantu menyembuhkan salah tafsir atau kesalahpahaman yang mungkin
berasal dari penggunaan nama “Hindu,” dan juga mengakhiri alasan mengapa
beberapa kelompok yang tidak peduli untuk mengidentifikasi diri mereka di bawah
nama itu. Setelah semua, sebagian besar kelompok Veda, terlepas dari orientasi
mereka dan jalan khusus yang mereka ikuti, pasti bisa bersatu di belakang
istilah Veda Dharma.
Srila
Prabhupada, pendiri International Society of Krishna Consciousness, telah
mengatakan hal yang berbeda pada waktu yang berbeda atau bagi orang yang
berbeda mengenai penggunaan nama “Hindu”. Banyak kali anggota ISKCON tampaknya
berpikir bahwa nama Hindu harus dihindari di semua biaya. Dan pada berbagai
kesempatan Srila Prabhupada ISKCON bilang anggota tidak harus Hindu. Namun, ia
menjelaskan secara ringkas kepada Janmanjaya dan Taradevi dalam sebuah surat
dari Los Angeles dari 9 Juli 1970 bahwa ada hubungan antara agama Hindu dan
Krishna Consciousness: “Mengenai pertanyaan Anda: Hindu berarti budaya India.
India kebetulan terletak di sisi lain Sungai Indus yang sekarang di Pakistan
yang dieja Indus-dalam bahasa Sansekerta disebut Sindhu. Di mana “Sindhu”
adalah salah eja oleh Eropa sebagai “Indus”, dan dari Indus kata ‘India’
datang. Demikian pula Arab biasanya mengucapkan sindhus sebagai Hindu. Demikian
Hindu diucapkan sebagai Hindu. Ini bukanlah kata Sanskerta, karena kata itu
juga tidak ditemukan dalam literatur Veda. Tetapi budaya India atau Hindu adalah
Veda dan mulai dengan Catur Varna dan Catur Ashrama. Jadi ini empat varna dan
ashrama dimaksudkan untuk ras manusia yang benar-benar beradab. Oleh karena
itu, kesimpulannya adalah sebenarnya ketika manusia beradab dalam arti
sebenarnya dari istilah dia mengikuti sistem varna dan ashrama dan kemudian ia
dapat disebut ‘Hindu’. Gerakan Kesadaran Krishna kita mengajarkan keempat varna
dan empat ashrama, jadi tentu saja telah punya hubungan dengan Hindu. Jadi
Hindu dapat dipahami dari sudut pandang budaya, bukan sudut pandang agama.
Budaya tidak pernah agama. Religi adalah iman, dan budaya merupakan kemajuan
pendidikan atau pengetahuan. ”
Dia lebih jauh
mengatakan dalam sebuah surat dari Los Angeles, 16 Juli 1970, di mana dia
menjawab pertanyaan untuk sebuah Nevatiaji: “Orang Amerika sangat cerdas dan
anak laki-laki dan perempuan berkualitas sehingga mereka memahami
prinsip-prinsip sebagaimana aslinya dan dengan demikian mereka menerimanya.
Mereka memahami bahwa Gerakan Kesadaran Krsna bukanlah India atau Hindu, tetapi
merupakan gerakan budaya bagi seluruh masyarakat manusia walaupun tentu saja
karena yang datang dari India merupakan orang India dan Hindu sentuhan. ”
Dengan cara
ini, Srila Prabhupada membedakan Kesadaran Krishna sebagai sebuah
ke-universal-an, budaya dan gerakan spiritual yang dapat berdiri sendiri,
terlepas dari agama tertentu dan perbedaan budaya. Namun, ia masih menceritakan
bagaimana pastinya ada orang India dan Hindu memiliki hubungan dengan apa yang
disajikan dalam gerakannya. Dan ini tidak harus dan tidak seharusnya
benar-benar diabaikan atau dihindari. Kita tentu saja dapat bekerja sama untuk
pelestarian dan promosi budaya Veda tanpa kesulitan dengan orang-orang yang
mungkin lebih suka menyebut diri mereka Hindu, mengetahui hubungan kita dengan
tradisi Veda.
2.2 Perkembangan
Agama Hindu
Pada abad ke- 19 Belanda juga memperluas kekuasaannya ke
pulau Bali. Pada tahun 1906 belanda menyerang Badung dan berakhir dengan
puputan Badung. Setelah menguasai Badung, pemerintah kolonial Belanda melanjutkan
penyerangan ke wilayah Tabanan dan memperluas kekuasaannya ke daerah lain. Pada
zaman penjajahan Belanda agama yang dianut masyarakat Bali disebut agama
Tirta.
Pada tahun 1939 di Klungkung berdiri suatu organisasi agama
yang disebut Trimurti. Di singaraja lahir Perkumpulan Bali Dharma Laksana yang
berusaha memperbaharui agama dengan menerbitkan tulisan – tulisan. Tokoh –
tokoh agama pada waktu itu adalah I Gusti Bagus Sugriwa dan I Gusti Ngurah
Ananda Kusuma. (Nurkancana, 1998 : 153).
Pada zaman pendudukan bangsa Jepang, didirikan suatu lembaga
pendeta yang disebut Paruman Pandita Dharma. Pada waktu itu agama yang dianut
masyarakat Bali adalah agama Siwa Raditya atau agama Sang Hyang Surya.
Nama agama ini disesuaikan dengan nama Dewa Matahari, yaitu Dewa yang dipuja
oleh masyarakat Jepang (Nurkancana, 1998 : 154).
Perkembangan
agama Hindu di nusantara pada abad ke – 20 dapat di lihat dari berbagai aspek,
baik aspek sejarah, politik, dan sosial ekonomi.
1) Perkembangan
Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik
Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan
tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini
dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa atau Islam Abangan.
Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara
terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di
dataran tinggi Tengger di Jawa Timur.
Kantor
Statistik Nasional Indonesia tahun 1999 memperkirakan terdapat 100.000 orang
Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu
dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi
Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah
76.000 di tahun ini saja. Angka ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum
di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Sebelum tahun 1962, agama
Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang – orang beragama Hindu tidak
bisa mencantumkan agama mereka secara resmi.
Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh
organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun 1962 demi kepentingan
masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni
Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di
tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya
milik Bali saja (Nurkancana, 1998 : 154).
Di awal tahun 70-an, orang – orang Toraja Sulawesi mengambil
kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi
oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat
Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama.
Identitas
agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya,
yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-1966. Orang –
orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis
dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut
Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat
di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya,
kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu
karena kurang adanya organisasi Hindu.
Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen
dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati
Sukarnoputri. Sumber – sumber keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa
kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional
dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri.
2) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Ciri – ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di
Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura yang baru saja dibangun atau
candi – candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat
Hindu. Satu dari pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah Candi
Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika candi ini selesai
dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir
keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Pada bulan Desember 1999
menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000
keluarga.
Perpindahan agama besar – besaran yang sama juga terjadi di
daerah sekitar Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun
di daerah sisa – sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu
terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya
(di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya,
dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan spiritual).
Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah
sekitar Candi Pucak Raung (di Jawa TImur) yang baru saja dibangun. Daerah ini
disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu, Maharishi
Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan
membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.
Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi
Hindukuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota
kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan
ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu.
Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang
berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari
Sabang sampai Merauke.
Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok
Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga
berkembang di Jawa Tengah. Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.
2.3 Penganut Agama Hindu
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90%
penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa
keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini
digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas
pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali,
selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,
Lombok, Kalimantan (Suku Dayak
Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Agama ini timbul dari bekas–bekas runtuhan ajaran–ajaran
Weda dengan mengambil pokok pikiran dan bentuk–bentuk rupa India purbakala dan
berbagai kisah dongeng yang bersifat rohani yang telah tumbuh disemenanjung itu
sebelum kedatangan bangsa Arya. Dengan sebab ini para peneliti menganggap Agama
Hindu sebagai kelanjutan dari ajaran – ajaran Weda dan menjadi bagian dari
proses evolusinya. Menurut para sarjana, agama hindu terbentuk dari campuran
antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.
Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi dan merupakan
kumpulan adat-istiadat dan kedudukan yang timbul dari hasil penyusunan bangsa
Arya terhadap kehidupan mereka yang terjadi pada satu generasi ke generasi yang
lain sesudah mereka datang berpindah keIndia dan menundukkan penduduk aslinya
serta membentuk suatu masyarakat sendiri diluar pengaruh penduduk asli itu.
Sejarah agama Hindu dimulai dari zaman perkembangan
kebudayaan–kebudayaan besar di Mesopotamia dan Mesir. Karena rupanya antara
tahun 3000 dan 2000 sebelum Masehi dilembaga sungai Indus sudah ada
bangsa–bangsa yang peradapannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah
sungai Eufrat dan Tigris, maka terdapat peradapan yang sama di sepenjang pantai
dari laut Tengah sampai ke Teluk Benggal. Penduduk India pada zaman itu
terkenal sebagai bangsa Dravida. Bangsa Dravida adalah bangsa yang berkulit
hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting. Sistem
kepercayaan bangsa dravida sebelum masuknya agama Hindu. Bangsa Dravida
melahirkan budaya pertapaan menyiksa diri yang beranggapan bahwa jiwa itu tidak
sama dengan badan, jika mereka menyatukan badan dengan jiwa maka itu dianggap
sebagai bentuk kekekalan. System kepercayaannya seperti orang meditasi, bertapa
mengembara, selimbat (tidak menikah), melatih fikiran, mencari jalan kematian
dan kelahiran (mencapai kebebasan). Beberapa kepercayaan yang dianut pada
awal perkembangan Hindu :
1) Totheisme atau
Totemisme atau Antrophomorphisme, adalah tahap di mana persembahan
yang mereka berikan masih sangat sederhana kepada fenomena-fenomena alam
(sungai, batu, guning, pohon, dan sebagainya).
2) Polytheisme, pada tahap
ini mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena alam tersebut dianggap memiliki
suatu kekuatan dan mereka menganggapnya sebagai dewa. Mereka mulai memuja
dewa-dewa seperti; Dewa Air (Baruna), Dewa Matahari (Suriya), Dewa Angin
(Bayu), dan lain-lain.
3) Henotheisme, di tahap ini
mereka cenderung memfavoritkan pada dewa-dewa tertentu untuk suatu periode,
sehingga kefavoritan menjadi berganti-ganti unutk satu periode sesuai dengan
keadaan. Bila pada musim kemarau, mereka memuja dan memfavoritkan kepada Dewa
Hujan, pada musim bercocok tanam mereka memuja Dewa Air, dan sebagainya.
4) Monotheisme, pada tahap
ini mereka hanya memuja pada satu dewa yang mereka kenal sebagai dewa pencipta
segalanya (Pajapati), mereka beranggapan bahwa Pajapati adalah sebagai pencipta
alam semesta. Pajapati sering dianggap sebagai dewa yang bertugas menciptakan
semua hal dan kemudian berkembang gagasan tentang Brahma. Dari tahap
Antrophomorphisme, Polytheisme, kemudian tahap Henotheisme, sampai pada tahap Monotheisme
itu disebut tahap Yadnya Marga atau Karma Marga, karena mereka cenderung masih
melakukan upacara-upacara persembahan atau upacara kurban dengan tujuan agar
mendapatkan berkah, pahala, kebahagiaan, dan keselamatan.
5) Monisme atau
Pantheisme, adalah tahap di mana mereka tidak lagi menyembah dewa-dewa.
Mereka meyakini atau berprinsip bahwa ada suatu sumber dari segala sesuatu,
yaitu yang mereka namakan sebagai Roh Universal (Maha Atman). Dan mereka juga
meyakini bahwa setiap benda atau bentukan memiliki Roh Individu yang mereka
namakan Puggala Atman. Di tahap ini yang semakin berkembang mereka melakukan
suatu pencarian, bagaimana agar Puggala Atman dapat bersatu dengan Maha Atman.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Beberapa sumber
melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu
menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang
Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus ketika Alexander menyerbu India
sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur
Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris.
Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak
orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Kemudian, ketika penyerbu
Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut
Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk
menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di
mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena
suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut
“Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak
menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk
mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di
daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut
sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama
Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali
orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan.
3.2 Saran
Hendaknya penganut agama Hindu
mengetahui bagaimana sejarah agama Hindu di India dan asal-usul nama Hindu yang
dahulunya bernama Sanatana Dharma. Dan sebagai penganut agama terutama agama
Hindu hendaknya tidaklah lupa dengan sejarah agama Hindu dan kesepakatan kata
Hindu di bentuk.
As reported by Stanford Medical, It's indeed the ONLY reason this country's women live 10 years longer and weigh on average 42 pounds lighter than us.
BalasHapus(And realistically, it is not related to genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)
P.S, What I said is "HOW", and not "what"...
Tap this link to discover if this short quiz can help you decipher your real weight loss potential