Rabu, 01 Januari 2014

Asal Usul Nama Hindu


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan hal yang sangat perlu untuk kita pelajari. Karena dari sejarahlah kita tahu mengenai apa, bagaimana suatu hal terjadi dan ada. Seperti sejarah mengenai terbentuknya kesepakatan nama hindu. Kita tidak pernah tahu secara jelas kapan terbentuk nama Hindu dan apa itu Hindu. Menurut R. Antoine sangatlah sulit untuk mendefinisikan Hinduisme, karena “Hinduisme bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang. Hinduisme lebih merupakan sebuah federasi berbagai pendekatan terhadap realitas yang berada di balik kehidupan”. Selain pluralitas doktrin, aliran serta latihan, ada dua  unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi sulit. Pertama Hinduisme tidak memiliki pendiri seperti dalam Buddhihisme, Kristen dan Islam. Kedua Hinduisme tidak memiliki tubuh otoritas yang merumuskan batas-batas dogma. Maka dari itu sangat sulit untuk mendefinisikan Hindu itu. Oleh karena itu disini kami  akan menjelaskan mengenai  asal-usul nama Hindu

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana asal usul terbentuknya kesepakatan kata Hindu?
1.2.2        Bagaimana perkembangan Agama Hindu?
1.2.3        Bagaimana  seberapa besar penganut Agama Hindu setelah terbentuk kesepakatan kata Hindu?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui asal usul terbentuknya kesepakatan kata Hindu.
1.3.2        Untuk mengetahui penyebaran Agama Hindu.
1.3.3        Untuk mengetahui seberapa besar penganut Agama Hindu setalah terbentuk kesepakatan Hindu



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Terbentuknya sebuah Kesepakan Kata Hindu
Pendiri Hinduisme tidak diketahui dan titik awalnya merujuk pada masa pra-sejarah. Hinduisme juga merupakan tradisi religious utama yang tertua. Menurut Yong Choon Kim, Hinduisme juga seringkali disebut sebagai agama ahistoris dan nonhistoris, karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada pendiri tunggal. Menurut tradisi, seseorang tidak dapat menjadi seorang Hindu kecuali ia dilahirkan dalam keluarga Hindu.
Nama asli dari agama ini adalah Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma. Kata Sanatana Dharma berarti Agama yang bersifat abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu (Pasek, 2012 : 5).
Tidak banyak yang tahu soal asal mula agama Hindu. Hal ini karena sejarah agama tersebut telah ada sebelum masa penulisan sejarah berkembang. Agama Hindu diyakini terbentuk dari beberapa keyakinan yaitu, keyakinan bangsa Arya dan keyakinan bangsa Dravida.
Agama ini tidak seperti agama-agama lain, dalam agama Hindu tidak dapat diketahui secara pasti siapa pembawa pertama ajaran-ajarannya. Ini merupakan salah satu kesulitan dalam mempelajari agama Hindu.
            Kita harus ingat bahwa istilah “Hindu” itu bahkan bukan istilah Sansekerta. Banyak ahli mengatakan bahwa itu tidak ditemukan di dalam Sastra Veda manapun. Jadi bagaimana bisa nama seperti itu mewakili jalan atau tradisi Veda? Dan tanpa sastra Veda, tidak ada dasar untuk “Hinduisme.” Banyak ahli merasa bahwa nama “Hindu” telah dikembangkan oleh pihak lain, para penyerbu yang tidak bisa menyebut nama Sungai Sindhu dengan baik. Menurut Sir Monier Williams, leksikografer, Sanskerta, tidak dapat menemukan akar pribumi untuk kata-kata Hindu atau India. Tidak juga kata-kata tersebut ditemukan dalam setiap teks-teks Buddha atau Jain, atau salah satu dari 23 bahasa resmi India.
Perkembangan agama Hindu tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu. Dari tempat tersebut mulai menyebarkan agama Hindu ke tempat lain di dunia. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Arya (cirinya kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mahenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Arya sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman. Awalnya bangsa Arya bermatapencaharian sebagai peternak kemudian setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Arya merasa ras mereka yang tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya.
Setelah bangsa Arya menempati sungai Indus, bercampurlah mereka dengan penduduk asli bangsa Dravida. Semula orang beranggapan bahwa kebudayaan India itu seluruhnya merupakan kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya, tetepi setelah penggalian–penggalian di Mahenjodaro dan Harappa, berubah pandangan orang. Ternyata kebudayaan bangsa Arya lebih rendah dari pada bangsa Dravida. Jadi dapat dikonstatasi  dengan jelas, bahwa agama Hindu tumbuh dari dua sember yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu.
Orang Arya mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida. Oleh karena itu, Agama Hindu yang berkembang sebenarnya merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Arya dan bangsa Dravida. Selain itu, istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut agama dan kebudayaan Hindu. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Daerah perkembangan pertamanya terdapat di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan Hindustan (tanah milik bangsa Hindu).
Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam  Zend Avesta — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.
Agama Hindu lahir dan berkembang pertama kalinya dilembah sungai suci Sindhu di India. Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan sebangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Sebenarnya agama Hindu bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi zaman kira-kira 1.500 SM sehingga zaman sekarang. Dalam perjalanannya di sepanjang abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi, sehingga memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diutamakan sama sekali. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.
Pada zaman kuno oleh penduduknya, India disebut Jambhudvipa yang artinya benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa yang artinya tanah keturunan Bharata. Nama India dijelaskan dari nama sungai Sindhu yang mengairi daerah Barat India. Bangsa Persia menyebut sungai itu dengan sungai Hindu. Kemudian nama ini diambil alih oleh orang Yunani, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil alih oleh pemerintah India sekarang ini. Ketika agama Islam dating di India nama yang diberikan oleh bangsa Persia timbul kembali dalam istilah Hindustan, sedangkan penduduknya yang masih memeluk agama India asli disebut orang Hindu.
Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal atau Vaidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Dengan ungkapan ini orang Hindu menyatakan keyakinan bahwa agama tidaklah terikat oleh zaman. Agama ada bersamaan dengan hidup, sebab agama adalah makanan rohani manusia.
Dipakai nama Agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan Agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang dating kemudian menyebutnya dengan India. Pada mjlanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Sindhu yang sampai kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh dan Bahkan yang disebut juga dengan Jambhudvipa.
Beberapa sumber melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus ketika Alexander menyerbu India sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris. Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Kemudian, ketika penyerbu Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut “Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan.
Sebuah pemandangan lain tentang nama “Hindu” menunjukkan kebingungan alami untuk mengerti esensi sebenarnya dari jalan spiritual India. Seperti yang ditulis oleh RN Suryanarayan dalam bukunya Agama Universal (p.1-2, yang diterbitkan di Mysore pada tahun 1952), “Situasi politik di negara kita sejak berabad lalu, sebut saja 20-25 abad, telah membuatnya sangat sulit untuk memahami sifat bangsa ini dan agamanya. Sarjana Barat, dan sejarawan, juga, telah gagal untuk melacak nama sejati ini Tanah Brahman, benua yang luas seperti negara, dan oleh karena itu, mereka telah puas diri dengan menyebutnya dengan istilah yang berarti ‘Hindu’. Kata ini, yang merupakan inovasi asing, tidak terbuat dari penggunaan oleh penulis Sansekerta kami dan Acharya yang dihormati dalam karya-karya mereka. Tampaknya kekuasaan politik bertanggung jawab untuk terus-menerus menekankan penggunaan kata Hindu. Kata Hindu ditemukan, tentu saja, dalam sastra Persia. Hindu-e-Falak berarti ‘kegelapan dari langit’ dan ‘Saturnus’. Dalam bahasa Arab Hind bukan Hindu berarti bangsa. Hal ini memalukan dan menggelikan telah membaca selama ini dalam sejarah bahwa nama Hindu diberikan oleh orang-orang Persia kepada penduduk negara kami ketika mereka mendarat di tanah suci Sindhu.”
Lokasi di mana kata “Hindu” terjadi untuk apa beberapa orang merasa pertama kalinya dalam Avesta dari Iran dalam deskripsi negara India dan rakyatnya.  Seperti negara agama Zorastrime, kata tampaknya mengambil makna yang menghina. Dan tentu saja sebagai mana Islam menyebar di India, kata “Hindu” dan “Hindustan” menjadi semakin tidak dihormati dan bahkan dibenci di arena Persia, dan lebih menonjol dalam sastra Persia dan Arab setelah abad ke-11. Menurut pandangan lain, sumber nama Hindu didasarkan pada makna menghina. Dikatakan bahwa, “Selain itu, benar bahwa nama ini (Hindu) telah diberikan kepada ras Arya asli daerah penyerbu Muslim untuk mempermalukan mereka. Dalam bahasa Persia, kata penulis kami, kata tersebut berarti budak, dan menurut Islam, semua orang yang tidak memeluk Islam disebut sebagai budak. “(Dayanand Saraswati Shri Maharishi Aur Unka Kaam, diedit oleh Lala Lajpat Rai, diterbitkan di Lahore, 1898 dalam Pendahuluan).
Lebih jauh lagi, sebuah kamus Persia berjudul Lughet-e-Kishwari, diterbitkan di Lucknow pada tahun 1964, memberikan arti kata Hindu sebagai “tugas (pencuri), dakoo (Perampok), raahzan (waylayer), dan Ghulam (budak).” Di kamus lain, bahasa Urdu-Feroze-ul-Laghat (Bagian Pertama, hal 615) Persia arti kata Hindu adalah lebih lanjut digambarkan sebagai Barda (hamba yang taat), sia faam (warna hitam) dan kaalaa (hitam). Jadi semua ini adalah ungkapan menghina untuk menerjemahkan istilah Hindu sebagai label Persia atas rakyat India. Jadi, pada dasarnya, Hindu hanyalah kelanjutan dari istilah seorang muslim yang menjadi populer hanya dalam 1300 tahun terakhir. Dengan cara ini, kita dapat memahami bahwa ini bukan istilah Sansekerta yang valid, juga tidak ada hubungannya dengan budaya Veda atau jalan spiritual Veda. Tidak ada agama yang pernah ada yang disebut “Hinduisme” sampai orang-orang India pada umumnya memberi nilai pada nama itu, seperti yang diberikan oleh mereka yang didominasi atas mereka, dan menerima penggunaannya. Selanjutnya, istilah telah digunakan untuk menyampaikan konotasi merendahkan. Jadi, apakah itu tidak mengherankan bahwa beberapa acharya India dan organisasi Weda tidak peduli untuk menggunakan istilah?
Kebingungan yang sesungguhnya dimulai ketika nama “Hindu” digunakan untuk menunjukkan agama orang India. Kata-kata “Hindu” dan “Hinduisme” sering digunakan oleh Inggris dengan efek fokus pada perbedaan agama antara kaum muslim dan orang-orang yang menjadi dikenal sebagai “Hindu”. Ini dilakukan dengan niat yang agak sukses menciptakan gesekan di kalangan masyarakat India. Hal ini sesuai dengan kebijakan Inggris atas pembagian dan aturan untuk membuatnya lebih mudah bagi mereka yang terus berkuasa atas negeri itu. Namun, kami harus menyebutkan bahwa orang lain yang mencoba untuk membenarkan kata “Hindu” sekarang adalah gagasan dari para Resi terdalu, beberapa ribu tahun yang lalu, juga disebut India tengah Hindustan, dan orang-orang yang tinggal di sana adalah Hindu. Sloka berikut, dikatakan dari Vishnu Purana, Padma Purana dan Samhita Bruhaspati, diberikan sebagai bukti, namun saya masih menunggu untuk mempelajari lokasi yang tepat di mana kita dapat menemukan ayat ini:
Beberapa referensi lain yang digunakan, meskipun lokasi yang tepat tidak saya yakini, meliputi:
Himalayam Samaarafya Yaavat Hindu Sarovaram
Tham Devanirmmitham desham Hindustanam Prachakshathe
Himalyam muthal Indian maha samudhram vareyulla
devanirmmithamaya deshaththe Hindustanam ennu parayunnu
Ini menunjukkan bahwa daerah antara Himalaya dan Samudera Hindia disebut Hindustan. Dengan demikian, kesimpulan dari hal ini adalah bahwa semua orang India beragama Hindu tanpa memandang kasta dan agama. Tentu saja, tidak semua orang akan setuju dengan itu.
Orang lain mengatakan bahwa di dalam Rig Veda, Bharata disebut sebagai negara “Sapta Sindhu”, yaitu negara tujuh sungai besar. Hal ini tentu saja dapat diterima. Namun, tepatnya bab dan buku yang dapat berasal dari sloka ini perlu diluruskan. Meski demikian, beberapa orang mengatakan bahwa kata “Sindhu” merujuk pada sungai dan laut, dan tidak hanya ke sungai tertentu yang disebut “Sindhu”. Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa dalam Weda Sansekerta, menurut kamus kuno, “sa” diucapkan sebagai “ha”. Jadi “Sapta Sindhu” diucapkan sebagai “Hapta Hindu”. Jadi, ini adalah bagaimana kata “Hindu” dianggap telah terwujud. Hal ini juga mengatakan bahwa Persia kuno Barat disebut sebagai “Hapta Hind”, sebagaimana dicatat dalam klasik kuno mereka “Bem Riyadh”. Jadi, ini adalah alasan lain mengapa beberapa ahli mulai percaya bahwa kata “Hindu” itu berasal di Persia.
Teori lain adalah bahwa nama “Hindu” bahkan tidak berasal dari nama Sindhu. Mr A. Krishna Kumar dari Hyderabad, India menjelaskan. “Ini (Sindhu / Hindu) Pandangan ini tidak dapat dipertahankan karena India pada waktu itu mengagumkan peringkat tertinggi di dunia dalam hal peradaban dan kekayaan tidak akan tanpa nama. Mereka tidak aborigin yang tidak diketahui yang menunggu untuk ditemukan, diidentifikasi dan dibaptis oleh orang asing. “Dia mengutip sebuah argumen dari buku Self-Government di India oleh NB Pavgee, yang diterbitkan pada tahun 1912. Penulis menceritakan Swami tua dan sarjana sanskrit Mangal Nathji, yang menemukan Purana kuno yang dikenal sebagai Sham Brihannaradi di desa, Hoshiarpur, Punjab. Itu berisi sloka ini:
himalayam samarabhya yavat bindusarovaram
hindusthanamiti qyatam hi antaraksharayogatah
Sekali lagi lokasi yang tepat dari sloka tersebut dalam Purana hilang, tapi Kumar menerjemahkannya sebagai: “Negeri yang terletak di antara pegunungan Himalaya dan Bindu Sarovara (laut  Cape Comorin) dikenal sebagai Hindusthan oleh kombinasi dari huruf pertama ‘hi’ dari ‘Himalaya’dan senyawa terakhir huruf ‘ndu’dari kata ‘Bindu’.”
Hal ini tentu saja dianggap telah melahirkan nama “Hindu”, menunjukkan asal pribumi. Kesimpulan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah ini dengan demikian dikenal sebagai “Hindu”.
Jadi sekali lagi, dengan cara apapun teori-teori ini dapat menyajikan informasi mereka, dan dengan cara apa pun melihat itu, nama “Hindu” mulai hanya sebagai tubuh dan penunjukan daerah. Nama “Hindu” menunjuk ke sebuah lokasi dan orang-orang dan awalnya tidak ada hubungannya dengan filsafat, agama atau budaya rakyat, yang pasti bisa berubah dari satu hal ke hal lain. Hal ini seperti mengatakan bahwa semua orang dari India adalah India. Tentu saja, yang dapat diterima sebagai nama yang mengacu ke sebuah lokasi, tapi bagaimana dengan agama mereka, iman dan filsafat? Ini dikenal dengan banyak nama sesuai dengan berbagai pandangan dan keyakinan. Jadi, mereka tidak semua orang Hindu, karena banyak orang yang tidak mengikuti sistem Veda sudah keberatan dengan menyebut diri mereka dengan nama itu. Maka “Hindu” bukanlah nama yang paling tepat dari sebuah jalan spiritual, tetapi istilah sanskrit Sanatana-dharma jauh lebih akurat. Budaya India kuno dan sejarah awal mereka adalah budaya Veda atau Veda Dharma. Sehingga lebih tepat untuk menggunakan nama yang didasarkan pada budaya bagi mereka yang mengikutinya, bukan nama yang hanya alamat lokasi suatu bangsa.
Tampaknya hanya dengan raja-raja Veda kekaisaran Wijayanagara pada tahun 1352 adalah kata “Hindu” digunakan dengan bangga oleh Bukkal yang menggambarkan dirinya sebagai “Hinduraya suratrana”. Sedangkan teks-teks Sansekerta utama, dan bahkan ritual-ritual yang telah dilakukan di kuil-kuil dari ribuan tahun yang lalu, menggunakan kata “Bharata” dalam referensi ke daerah saat ini india. Oleh karena itu, secara tradisional dan secara teknis lebih akurat untuk merujuk ke tanah India sebagai “Bharata” atau “Bharat varsha”.
Sayangnya, kata “Hindu” secara bertahap telah diadopsi oleh hampir semua           orang, bahkan orang-orang India, dan sekarang diterapkan dalam cara yang sangat umum, begitu banyak sehingga, sebenarnya, bahwa sekarang “Hindu” sering digunakan untuk menjelaskan apa-apa dari kegiatan keagamaan bahkan kegiatan sosial India atau nasionalistis. Beberapa dari apa yang disebut “Hindu” peristiwa-peristiwa yang tidak didukung dalam literatur Veda, dan, karenanya, harus dianggap non-Veda. Dengan demikian, tidak sembarang orang bisa menyebut diri mereka sebagai “Hindu” dan masih dianggap sebagai pengikut jalan Veda. Juga bisa santai setiap aktivitas dapat disebut sebagai bagian dari Hindu dan berpikir panjang dianggap sebagai bagian dari budaya Veda sejati.
Oleh karena itu, jalan spiritual Veda lebih tepat disebut Sanatana-dharma, yang berarti      abadi, pendudukan jiwa yang tidak berubah dalam hubungannya dengan Yang Mahatinggi. Sama seperti dharma dari gula adalah menjadi manis, ini tidak berubah. Dan jika tidak manis, maka itu bukan gula. Atau dharma dari api adalah untuk memberi kehangatan dan cahaya. Jika tidak seperti itu, maka itu bukan api. Dengan cara yang sama, ada Dharma tertentu atau sifat dari jiwa, yang Sanatana, atau abadi. Itu tidak berubah. Jadi ada keadaan dharma dan jalan dharma. Mengikuti prinsip-prinsip Sanatana-dharma dapat membawa kita kepada keadaan yang murni memperoleh kembali identitas rohani kita yang terlupakan dan hubungan dengan Tuhan. Ini adalah tujuan dari pengetahuan Veda dan sistem realisasi diri. Dengan demikian, pengetahuan tentang Veda dan semua literatur Veda, seperti pesan Krsna dalam Bhagavad-gita, serta ajaran-ajaran Upanishad dan Purana, tidak terbatas hanya “Hindu” yang terbatas pada wilayah tertentu atas planet atau keluarga kelahiran. Pengetahuan semacam itu sebenarnya dimaksudkan untuk seluruh dunia. Seperti setiap orang adalah makhluk rohani dan memiliki esensi spiritual yang sama seperti yang dijelaskan sesuai dengan prinsip-prinsip Sanatana-dharma, maka setiap orang harus diberi hak dan hak istimewa untuk memahami pengetahuan ini. Hal ini tidak dapat diadakan untuk kelompok atau wilayah eksklusif suatu penduduk.
Sanatana-dharma juga berkembang penuh filosofi spiritual yang mengisi celah-celah apa pun dapat dibiarkan oleh ajaran-ajaran filosofis agama lain yang kurang berkembang. Pengetahuan langsung tentang jiwa adalah sebuah “universal kebenaran rohani” yang dapat diterapkan oleh semua orang, dalam setiap bagian dunia, di setiap saat dalam sejarah, dan dalam setiap agama. Ini adalah abadi. Oleh karena itu, sebagai sebuah kebenaran rohani abadi, itu melampaui semua waktu dan sebutan duniawi. Pengetahuan tentang jiwa adalah esensi dari kebijaksanaan Veda dan lebih daripada apa arti nama “Hindu”, terutama setelah memahami dari mana nama itu datang.
Bahkan jika waktunya tiba pada zaman buruk Kali-Yuga setelah banyak ribuan tahun ketika agama Kristen, Islam, Buddha, dan bahkan agama Hindu (seperti yang kita sebut sekarang) mungkin hilang dari muka bumi, masih akan ada ajaran-ajaran Veda yang tetap sebagai sebuah kebenaran spiritual dan universal, bahkan jika kebenaran tersebut mungkin akan dilupakan dan harus didirikan kembali lagi di dunia ini oleh Tuhan Krsna sendiri. Aku ragu kemudian bahwa Beliau akan menggunakan nama “Hindu.” Beliau pasti mengatakan apa yang Beliau katakan ketika Beliau menyabdakan Bhagavad-gita terakhir kali. Jadi, meskipun saya tidak merasa bahwa “Hindu” adalah istilah yang tepat untuk mewakili budaya Arya Veda atau jalan spiritual, saya juga menggunakan kata itu dari waktu ke waktu untuk arti yang sama karena sudah jadi bagian dari kosa kata semua orang . Kalau tidak, karena saya mengikuti jalan Veda Sanatana-dharma, saya menyebut diriku Sanatana-dharmist. Yang mengurangi kebutuhan untuk menggunakan label “Hindu” dan juga membantu memusatkan perhatian pada sifat universal jalan Veda. Oleh karena itu, saya mengusulkan bahwa semua orang yang menganggap dirinya sebagai orang Hindu mulai menggunakan istilah ini Sanatana-dharmist, yang tidak hanya mengacu pada terminologi Sansekerta yang benar, tapi juga lebih akurat menggambarkan karakter dan spiritual maksud sesungguhnya dari jalan Veda. Orang lain juga telah menggunakan istilah Sanatanis atau bahkan Dharmists, keduanya lebih dekat ke arti sesungguhnya dalam budaya Weda.Namun, untuk tujuan-tujuan politik dan hukum mungkin nyaman untuk terus menggunakan nama Hindu untuk sementara waktu. Sampai istilah Sanatana-dharma      atau Dharma Veda menjadi lebih diakui oleh hukum internasional dan masyarakat pada umumnya, “Hindu” dapat tetap berada di belakang istilah yang digunakan untuk pawai budaya Veda. Tapi dalam jangka panjang, itu adalah nama yang akan berubah dalam arti pandangan yang berbeda-beda karena kurangnya dasar linguistik yang nyata. Hanya didasarkan pada nilai-nilai orang-orang tempat di dalamnya, makna dan tujuan akan bervariasi dari orang ke orang, budaya ke budaya, dan tentu saja dari generasi ke generasi. Kita bisa melihat bagaimana hal ini terjadi dengan orang Inggris di India. Jadi, akan ada pelestarian masalah dengan nama dan mengapa beberapa orang dan kelompok tidak akan mau menerimanya. Namun dengan terus-menerus dan meningkatnya penggunaan istilah Sanatana dharma atau Veda-dharma, setidaknya oleh orang-orang yang lebih sadar akan definitif dasar sanskrit istilah-istilah ini, mereka akan memperoleh pengakuan sebagai istilah yang lebih tepat. Itu hanya butuh waktu untuk membuat penyesuaian yang tepat.
Ini adalah cara untuk membantu menyembuhkan salah tafsir atau kesalahpahaman yang mungkin berasal dari penggunaan nama “Hindu,” dan juga mengakhiri alasan mengapa beberapa kelompok yang tidak peduli untuk mengidentifikasi diri mereka di bawah nama itu. Setelah semua, sebagian besar kelompok Veda, terlepas dari orientasi mereka dan jalan khusus yang mereka ikuti, pasti bisa bersatu di belakang istilah Veda Dharma.
Srila Prabhupada, pendiri International Society of Krishna Consciousness, telah mengatakan hal yang berbeda pada waktu yang berbeda atau bagi orang yang berbeda mengenai penggunaan nama “Hindu”. Banyak kali anggota ISKCON tampaknya berpikir bahwa nama Hindu harus dihindari di semua biaya. Dan pada berbagai kesempatan Srila Prabhupada ISKCON bilang anggota tidak harus Hindu. Namun, ia menjelaskan secara ringkas kepada Janmanjaya dan Taradevi dalam sebuah surat dari Los Angeles dari 9 Juli 1970 bahwa ada hubungan antara agama Hindu dan Krishna Consciousness: “Mengenai pertanyaan Anda: Hindu berarti budaya India. India kebetulan terletak di sisi lain Sungai Indus yang sekarang di Pakistan yang dieja Indus-dalam bahasa Sansekerta disebut Sindhu. Di mana “Sindhu” adalah salah eja oleh Eropa sebagai “Indus”, dan dari Indus kata ‘India’ datang. Demikian pula Arab biasanya mengucapkan sindhus sebagai Hindu. Demikian Hindu diucapkan sebagai Hindu. Ini bukanlah kata Sanskerta, karena kata itu juga tidak ditemukan dalam literatur Veda. Tetapi budaya India atau Hindu adalah Veda dan mulai dengan Catur Varna dan Catur Ashrama. Jadi ini empat varna dan ashrama dimaksudkan untuk ras manusia yang benar-benar beradab. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah sebenarnya ketika manusia beradab dalam arti sebenarnya dari istilah dia mengikuti sistem varna dan ashrama dan kemudian ia dapat disebut ‘Hindu’. Gerakan Kesadaran Krishna kita mengajarkan keempat varna dan empat ashrama, jadi tentu saja telah punya hubungan dengan Hindu. Jadi Hindu dapat dipahami dari sudut pandang budaya, bukan sudut pandang agama. Budaya tidak pernah agama. Religi adalah iman, dan budaya merupakan kemajuan pendidikan atau pengetahuan. ”
Dia lebih jauh mengatakan dalam sebuah surat dari Los Angeles, 16 Juli 1970, di mana dia menjawab pertanyaan untuk sebuah Nevatiaji: “Orang Amerika sangat cerdas dan anak laki-laki dan perempuan berkualitas sehingga mereka memahami prinsip-prinsip sebagaimana aslinya dan dengan demikian mereka menerimanya. Mereka memahami bahwa Gerakan Kesadaran Krsna bukanlah India atau Hindu, tetapi merupakan gerakan budaya bagi seluruh masyarakat manusia walaupun tentu saja karena yang datang dari India merupakan orang India dan Hindu sentuhan. ”
Dengan cara ini, Srila Prabhupada membedakan Kesadaran Krishna sebagai sebuah ke-universal-an, budaya dan gerakan spiritual yang dapat berdiri sendiri, terlepas dari agama tertentu dan perbedaan budaya. Namun, ia masih menceritakan bagaimana pastinya ada orang India dan Hindu memiliki hubungan dengan apa yang disajikan dalam gerakannya. Dan ini tidak harus dan tidak seharusnya benar-benar diabaikan atau dihindari. Kita tentu saja dapat bekerja sama untuk pelestarian dan promosi budaya Veda tanpa kesulitan dengan orang-orang yang mungkin lebih suka menyebut diri mereka Hindu, mengetahui hubungan kita dengan tradisi Veda.
2.2  Perkembangan  Agama Hindu
Pada abad ke- 19 Belanda juga memperluas kekuasaannya ke pulau Bali. Pada tahun 1906 belanda menyerang Badung dan berakhir dengan puputan Badung. Setelah menguasai Badung, pemerintah kolonial Belanda melanjutkan penyerangan ke wilayah Tabanan dan memperluas kekuasaannya ke daerah lain. Pada zaman penjajahan Belanda agama yang dianut masyarakat Bali disebut agama Tirta.
Pada tahun 1939 di Klungkung berdiri suatu organisasi agama yang disebut Trimurti. Di singaraja lahir Perkumpulan Bali Dharma Laksana yang berusaha memperbaharui agama dengan menerbitkan tulisan – tulisan. Tokoh – tokoh agama pada waktu itu adalah I Gusti Bagus Sugriwa dan I Gusti Ngurah Ananda Kusuma. (Nurkancana, 1998 : 153).
Pada zaman pendudukan bangsa Jepang, didirikan suatu lembaga pendeta yang disebut Paruman Pandita Dharma. Pada waktu itu agama yang dianut masyarakat Bali adalah agama Siwa Raditya atau agama Sang Hyang Surya. Nama agama ini disesuaikan dengan nama Dewa Matahari, yaitu Dewa yang dipuja oleh masyarakat Jepang (Nurkancana, 1998 : 154).
Perkembangan agama Hindu di nusantara pada abad ke – 20 dapat di lihat dari berbagai aspek, baik aspek sejarah, politik, dan sosial ekonomi.
1)       Perkembangan Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik
Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa  atau Islam Abangan. Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger  di Jawa Timur.
Kantor Statistik Nasional Indonesia tahun 1999 memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang – orang beragama Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi.
Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Nurkancana, 1998 : 154).
Di awal tahun 70-an, orang – orang Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama.
Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-1966. Orang – orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu.
Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Sumber – sumber keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri.
2)      Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Ciri – ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura yang baru saja dibangun atau candi – candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah Candi Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika candi ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Pada bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.
Perpindahan agama besar – besaran yang sama juga terjadi di daerah sekitar Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun di daerah sisa – sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan spiritual).
Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar Candi Pucak Raung (di Jawa TImur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu, Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.
Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindukuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah. Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.
2.3 Penganut Agama Hindu
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Agama ini timbul dari bekas–bekas runtuhan ajaran–ajaran Weda dengan mengambil pokok pikiran dan bentuk–bentuk rupa India purbakala dan berbagai kisah dongeng yang bersifat rohani yang telah tumbuh disemenanjung itu sebelum kedatangan bangsa Arya. Dengan sebab ini para peneliti menganggap Agama Hindu sebagai kelanjutan dari ajaran – ajaran Weda dan menjadi bagian dari proses evolusinya. Menurut para sarjana, agama hindu terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.
Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi dan merupakan kumpulan adat-istiadat dan kedudukan yang timbul dari hasil penyusunan bangsa Arya terhadap kehidupan mereka yang terjadi pada satu generasi ke generasi yang lain sesudah mereka datang berpindah keIndia dan menundukkan penduduk aslinya serta membentuk suatu masyarakat sendiri diluar pengaruh penduduk asli itu.
Sejarah agama Hindu dimulai dari zaman perkembangan kebudayaan–kebudayaan besar di Mesopotamia dan Mesir. Karena rupanya antara tahun 3000 dan 2000 sebelum Masehi dilembaga sungai Indus sudah ada bangsa–bangsa yang peradapannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah sungai Eufrat dan Tigris, maka terdapat peradapan yang sama di sepenjang pantai dari laut Tengah sampai ke Teluk Benggal. Penduduk India pada zaman itu terkenal sebagai bangsa Dravida. Bangsa Dravida adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting. Sistem kepercayaan bangsa dravida sebelum masuknya agama Hindu. Bangsa Dravida melahirkan budaya pertapaan menyiksa diri yang beranggapan bahwa jiwa itu tidak sama dengan badan, jika mereka menyatukan badan dengan jiwa maka itu dianggap sebagai bentuk kekekalan. System kepercayaannya seperti orang meditasi, bertapa mengembara, selimbat (tidak menikah), melatih fikiran, mencari jalan kematian dan kelahiran (mencapai kebebasan).  Beberapa kepercayaan yang dianut pada awal perkembangan Hindu :
1)      Totheisme atau Totemisme atau Antrophomorphisme, adalah tahap di mana persembahan yang mereka berikan masih sangat sederhana kepada fenomena-fenomena alam (sungai, batu, guning, pohon, dan sebagainya).
2)      Polytheisme, pada tahap ini mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena alam tersebut dianggap memiliki suatu kekuatan dan mereka menganggapnya sebagai dewa. Mereka mulai memuja dewa-dewa seperti; Dewa Air (Baruna), Dewa Matahari (Suriya), Dewa Angin (Bayu), dan lain-lain.
3)      Henotheisme, di tahap ini mereka cenderung memfavoritkan pada dewa-dewa tertentu untuk suatu periode, sehingga kefavoritan menjadi berganti-ganti unutk satu periode sesuai dengan keadaan. Bila pada musim kemarau, mereka memuja dan memfavoritkan kepada Dewa Hujan, pada musim bercocok tanam mereka memuja Dewa Air, dan sebagainya.
4)      Monotheisme, pada tahap ini mereka hanya memuja pada satu dewa yang mereka kenal sebagai dewa pencipta segalanya (Pajapati), mereka beranggapan bahwa Pajapati adalah sebagai pencipta alam semesta. Pajapati sering dianggap sebagai dewa yang bertugas menciptakan semua hal dan kemudian berkembang gagasan tentang Brahma. Dari tahap Antrophomorphisme, Polytheisme, kemudian tahap Henotheisme, sampai pada tahap Monotheisme itu disebut tahap Yadnya Marga atau Karma Marga, karena mereka cenderung masih melakukan upacara-upacara persembahan atau upacara kurban dengan tujuan agar mendapatkan berkah, pahala, kebahagiaan, dan keselamatan.
5)      Monisme atau Pantheisme, adalah tahap di mana mereka tidak lagi menyembah dewa-dewa. Mereka meyakini atau berprinsip bahwa ada suatu sumber dari segala sesuatu, yaitu yang mereka namakan sebagai Roh Universal (Maha Atman). Dan mereka juga meyakini bahwa setiap benda atau bentukan memiliki Roh Individu yang mereka namakan Puggala Atman. Di tahap ini yang semakin berkembang mereka melakukan suatu pencarian, bagaimana agar Puggala Atman dapat bersatu dengan Maha Atman.























BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Beberapa sumber melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus ketika Alexander menyerbu India sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris. Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Kemudian, ketika penyerbu Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut “Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan.
3.2 Saran
            Hendaknya penganut agama Hindu mengetahui bagaimana sejarah agama Hindu  di India dan asal-usul nama Hindu yang dahulunya bernama Sanatana Dharma. Dan sebagai penganut agama terutama agama Hindu hendaknya tidaklah lupa dengan sejarah agama Hindu dan kesepakatan kata Hindu di bentuk.

1 komentar:

  1. As reported by Stanford Medical, It's indeed the ONLY reason this country's women live 10 years longer and weigh on average 42 pounds lighter than us.

    (And realistically, it is not related to genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)

    P.S, What I said is "HOW", and not "what"...

    Tap this link to discover if this short quiz can help you decipher your real weight loss potential

    BalasHapus