Rabu, 01 Januari 2014

Kesusastraan dan Ajaran-Ajaran Yoga Darsana


PEMBAHASAN
KESUSASTRAAN DAN AJARAN-AJARAN YOGA DARSANA

PENGERTIAN YOGA
Yoga Darsana termasuk salah satu dari sad Darsana yang mengakui otoritas Weda sebagai sumber dari segala sumber. Sejak dulu, yoga sudah dikenal sebagai metode yang ampuh untuk menyelaraskan kembali tubuh, pikiran dan jiwa manusia. Ajaran Yoga merupakan praktek dari ajaran Samkhya dalam kehidupan nyata (http://gustu107.blogspot.com/2012/03/yoga-darsana.html, 21/09/12, 20 : 02). Kata Yoga berasal dari akar kata  Yuj” yang artinya menghubungkan dan Yoga itu sendiri merupakan pengendalian aktivitas pikiran  dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi. Pendiri dari system Yoga adalah Hiranyagarbha dan Yoga yang didirikan oleh Maharsi Patanjali adalah cabang atau tambahan dari filsafat Samkhya, yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan (Maswinara, 1999 : 163).  System Yoga mirip dengan system Samkhya, idenya didasarkan pada dvaita (dualitas) yaitu melihat alam semesta sebagai subjek-objek dan tidak berbicara mengenai satu tuhan yang berpribadi. Yoga secara langsung mengakui keberadaan Makhluk tertinggi (Isvara) (Nurkancana, 1995 : 275).

KESUSATRAAN
Tulisan pertama tentang ajaran Yoga ini adalah kitab Yogasutra karya Maharesi patanjali, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Ajaran Yoga sebenarnya sudah terdapat didalam kitab suci Sruti maupun Smrti, demikian pula dalam Itihasa dan Purana. Setelah buku Yogasutra muncullah kitab-kitab Bhasta yang merupakan buku momentar terhadap karya Patanjali diatas, diantarnya Bhasya Nitti oleh Bhojaraja dan lain-lain. Komentar - komentar ini menguraikan ajaran Yoga karya Patanjali yang berbentuk Sutra atau kalimat pendek dan padat (http://artadharma.blogspot.com/2011/12/pokok-pokok-ajaran-darsana-yoga.html, 21/09/2012, 20:01).

Bernard mengatakan bahwa YogaSutra terdiri dari 4 Bab. Bab 1 yaitu Samadhipada  yang mengemukakan tentang sifat dasar dan tujuan Samadhi. Inilah teori atau ilmu pengetahuan Yoga. Bab II Sadhana Pada, membicarakan tentang Seni Yoga, dan sekaligus pula menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan tersebut (Samadhi). Bab III yang disebut dengan Vibhuti Pada,memberikan uraian tentang kekuatan (daya-daya) supra alami yang dapat dicapai melalui pelatihan Yoga. Sedangkan pada Bab IV disebut dengan Kaivalya Pada, membicarakan tentang pembebasan sebagai tujuan akhir manusia (Maswinara, 1999 : 164).
Yang perlu diingat bahwa pelaksanaan ajaran Yoga hendaknya mampu memberikan Vivekajnana, kemampuan untuk membedakan-bedakan yang benar dan yang salah suatu kondisi untuk mencapai kelepasan. Pelaksanaan kelepasan bisa dicapai melalui pengetahuan langsung mengenai perbedaan roh dan dunia jasmani. Salah satu caranya adalah mampu mengendalikan fungsi badan, indrya, pikiran, rasa ego dan menyadari adanya roh di atas segalanya.
Untuk mencapai kondisi ini perlu adanya penyucian diri dan pemusatan pikiran serta melepasan segala ikatan keduniawian untuk dapat membedakan antara Roh dan Jasmani.

AJARAN YOGA DARSANA
Yoga untuk pertama kalinya disistematis oleh Maharsi Sri Patanjali. Yoga memiliki daya tarik tersendiri. Yoga secara langsung mengakui keberadaan makhluk Tertinggi (Isvara). Sebelum kita memahami mengenai makhluk Tertinggi, kita harus tahu ajaran dalam Yoga. Adapun ajaran dalam  Yoga Darsana yaitu meliputi :
1.      Tentang Penciptaan Alam Semesta
Evolusi merupakan hasil dari gerak atau perkembangan pertama dari sesuatu. Ajaran Samkhya Yoga mengenal adanya dua azasi yang paling mendasar, disebut Purusa dan Prakerti. Antara Purusa dan Prakerti terdapat suatu kekuatan  saling tarik menarik yang memang telah ada pada setiap prakerti sebagai azas yang tidak memiliki kesadaran. Ibarat hubungan antara electron dengan proton pada aliran listrik yang mampu menimbulkan api listrik. Demikian pertemuan dengan prakerti, mampu melahirkan suatu wujud. Ini sebagai akibat adanya perkembangan dari prakerti setelah adanya pertemuan dengan purusa. Dengan pertemuan Prakerti dengan Purusa terjadi evolusi. Filsafat Yoga sering disamakan dengan filsafat Samkhya, karena mengakui adanya dua unsure Purusa dan Prakerti. Perbedaanya,  samkhya tidak pernah dalam  ajarannya mengemukakan eksistensi Tuhan. Dengan perkataan lain samkhya tidak mengakui keberadaan Tuhan, meski ia mengakui kewenangan Veda, ada dalam kelompok Astika serta mengakui kehidupan di akhirat. Oleh karenanya Samkhya disebut ajaran Nir Iswara Samkhya. Sedangkan Yoga disebut Sa Iswara, percaya pada Tuhan adalah satu-satunya objek termulia dan tertinggi untuk dikosentrasikan, karena Beliau Maha Sempurna, Maha Adil, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain sebagainya.
Telah disebutkan bahwa pertemuan antara Purusa dengan Prakerti akan menimbulkan penciptaan. Penciptaan di awali oleh suatu evolusi. Ini terjadi pada Prakerti itu sendiri, setelah adanya Samyoga.
Ada perbedaan antara ajaran Yoga dengan Samkhya. Ini dapat dilihat pada ajarannya tentang penciptaan alam semesta. Ajaran Yoga menjelaskan adanya dua azas pokok dalam penciptaan alam semesta disebut Purusa dan Prakerti. Demikian juga dalam ajaran Samkhya. Apabila Samkhya mengemukakan penciptaan tersebut mendasarkan pada dua puluh lima prinsip atau tattwa, maka ajaran Yoga dengan dua puluh enam tattwa, yakni menempatkan Iswara sebagai Yang Tertinggi dan Pembimbing, serta menggerakkan Purusa dan Prakerti untuk saling bertemu. Ke 25 tattwa itu adalah Purusa dan Prakerti 2 Tattwa, mahat (buddhi) 1 tattwa, manas 1 tattwa, ahamkara 1 tattwa, Panca Jnanendrya dan Panca Kamendrya 10 tattwa, Panca Tanmatra 5 tattwa, Panca Mahabhuta 5 tattwa. Patanjali sepakat dengan itu , hanya saja ada satu azas yang Paling Tertinggi yang menggerakkan pertemuan Purusa dan Prakerti yakni Iswara.

2.      Citta dan Guna dalam Ajaran Yoga
Ajaran Filsafat Yoga yang terpenting adalah Citta (pikiran). Citta dipandang sebagai hasil pertama dari Prakerti, yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Menurut sistem ini, yoga berfungsi untuk mencapai cittavrttinirodha. Tujuan dari sistem yoga ini adalah mengembalikan citta dalam keadaannya semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa dibebaskan dari penderitaan.
Dalam sistem  ini dijelaskan 5 (lima) keadaan pikiran yang dipengaruhi oleh intensitas triguna (sattwam, rajas, tamas), yaitu: (1) ksipta, pikiran didominasi oleh rajas, mengembara, berkeliaran diantara objek-objek duniawi; (2) Mudha, pikiran didominasi oleh tamas, lamban, malas, tertidur, dan tidak berdaya; (3) Wiksipta, pikiran dipengaruhi oleh sattwam dan rajas, masih dalam keadaan goyang antara meditasi dan obyektivitas; (4) Ekagra, pikiran didominasi oleh sattwam dalam keadaan meditasi (terpusat); dan (5) Niruddha, pikiran terhenti, berhenti dari kerjanya berpikir.
Menurut Maharsi Patanjali, orang yang tidak memiliki pengetahuan yang benar, pikirannya akan diserang oleh 5 (lima) sumber penderitaan (klesa), yaitu: awidya (kegelapan), asmita (keakuan), raga (keinginan), dwesa (kebencian), dan abhiniwesa (keduniawian). Walaupun klesa ini tidak dapat dilenyapkan, tetapi dengan melaksanakan disiplin yoga intensitas klesa ini dapat dikurangi seminimal mungkin.
Sistem filsafat yoga benar-benar praktis, langsung membahas hakikat pikiran, modifikasi-modifikasinya, pertumbuhan, gangguan-gangguan dan metode untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu pembebasan (kaiwalya). Orang yang terbiasa mengendalikan pikiran adalah orang yang paling berbahagia hidup di dunia ini.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran selalu bersifat dualistik yang pada dasarnya merupakan sumber dari segala konflik yang terjadi dalam diri setiap manusia. Dualitas yang paling mendasar adalah dualitas antara ‘aku’ dan ‘bukan aku’ (subjek dan objek).
Bila seseorang mengulangi sebuah pikiran, ia akan  dengan mudah mengulangi getaran pikiran yang serupa. Makin sering seseorang mengulang-ulangi sebuah pikiran, semakin kuat pula kemungkinannya untuk bergetar kembali. Sesudah banyak mengulangi, maka akan timbul kecenderungan dan zat badan mental yang dengan otomatis mengulangi getarannya sendiri. Jadi dengan pikiran, dapat dibentuk kebiasaan apa saja yang dipilih. Tak ada kebajikan yang tidak dapat diciptakan dengan pikiran. Daya-daya alam bekerja bersama  manusia, apabila manusia memahami bagaimana  menggunakannya dan daya-daya tersebut akan menjadi pelayannya.
Pikiran bisa dikatakan tanpa substansi hanya dalam konteks jika pikiran tidak memiliki karakteristik atau hal yang dipikirkan. Akan tetapi, pikiran tidak bisa dikatakan sebaga yang tanpa materi dalam konteksnya sebagai Brahman yang merupakan roh murni. Pikiran juga adalah material, zat yang halus (http://gustu107.blogspot.com/2012/03/yoga-darsana.html, 21/09/12, 20 : 02).
Di dalam Citta ini Purusa dipantulkan. Dengan penerimaan Purusa Citta menjadi sadar dan berfungsi. Tiap Citta berhubungan dengan satu Citta, yang disebut Karana Citta (I Gusti Made Ngurah, 1999 : 123). Dalam hal ini sattwa lebih berkuasa dari pada dua unsure tiga guna lainnya.
Ia dapat digambarkan, mengambil beragam rupa, sehingga rupa-rupa yang terjadi itu  menyusun gerakan-gerakan pikiran. Gerakan-gerakan pikiran ini bisa berubah-rubah. Perubahan-perubahan itu disebut gelombang-gelombang pikiran atau kisaran-kisaran pikiran. Kalau citta memikirkan tentang kebakaran, maka gelombang-gelombang atau gerakan-gerakan pikiran tentang kebakaran akan terbentuk dalam lautan citta. Namun ia akan berangsur-angsur surut apabila citta telah memikirkan hal-hal yang lain, sehingga vrittis yang baru muncullah. Inilah yang disebut dalam system Yoga karana Citta. Ia bisa mengembang, mengecil, surut dan membesar.  Pada diri manusia ia bisa  mengembang sesuai dengan gelombang pikiran.
Pada awal penciptaan dan melahirkan citta, dimaksudkan  ada gabungan di dalamnya yakni buddhi, ahamkara dan manas. Menimbulkan juga keseimbangan citta menjadi  “gerak” atau “aktivitas”. Rajas sebagai salah satu unsure yang membangun tri Guna terangsa dalam perkembangan itu. Hal ini pula mengguncangkan keseimbangan sattwa dan tamas. Pada diri manusia tiga gunas ini tidak pernah lepas dari saling mempengaruhi, meskipun ketika membangun Prakerti berada dalam keadaan seimbang, sehingga tidak mengherankan dalam kegoncangan itu tiga guna itu saling ingin saling menguasai dan mendominasi dalam diri manusia. Salah satu dari yang lainnya akan menampakkan temperamen manusia, meskipun tidak permanent.
Pergolakan tiga guna juga cenderung membawa manusia pada samsara. Dengan samsara pula manusia cenderung mengalami penderitaan atau kebahagiaan. Ini bergantung pada wiwekajnana, pengetahuan untuk membedakan jiwa dengan produk (bendani) dan klesa-klesa pada dirinya seperti kebodohan (avidya) menyamakan roh dengan jasmani, pikiran dan perasaan, terikat pada nafsu.

3.      Hubungan Roh dengan Citta
Baik dalam ajaran filsafat Samkhya maupun Yoga, Roh dipandang sebagai kekuatan yang bebas dan bersatu dengan badan. Ia memiliki sifat kesadaran murni, bebas dari batas-batas jasmani dan kegoncangan dalam pikiran. Karena kebodohanlah, setelah masuk ke badan jasmani, ia samakan dirinya dengan alam pikiran, yang dalam ajaran Yoga, alam pikiran disebut Citta.
Ketika citta mulai berhubungan dengan objek dunia melalui manah, maka ia mulai mengenal objek itu, sehingga apa yang terwujud dalam citta itu kemudian menyusun gerakan-gerakan pikiran. Ini dapat berubah kalau citta memikirkan dan mengenal suatu objek yang baru. Pada saat inilah roh mengenal objek, dalam arti ketika citta  berubah karena mengenal suatu objek dan menyesuaikan diri dengan objek tersebut, maka roh pun mengenal objek melalui perubahan –perubahan citta.  Dalam kehidupan sehari-hari, Citta disamakan dengan Vrtti yaitu bentuk-bentuk perubahan Cittadalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktivitas Citta ini, Purusa tampak bertindak, bergirang dan menderita. Perubahan citta dapat diklasifikasikan menjadi lima macam yaitu :
1)      Pramana yaitu  pengamatan yang benar
2)      Wiparyaya yaitu pengamatan yang salah
3)      Wikalpa yaitu pengamatan dalam kata-kata
4)      Nidra yaitu tidur
5)      Smrti yaitu ingatan (I Gusti Made Ngurah, 1999 : 123).
Bila citta atau alam pikiran diubah ke dalam jenis gerakan-gerakan pikiran maka roh pun dipantulkan pada keadaan itu, suatu keadaan yang disebabkan oleh adanya perubahan citta. Dengan perkataan lain citta mengalami perubahan, maka roh pun dipantulkan pada keadaan itu. Dengan demikian roh pun memandang dirinya mengalami kelahiran, kamatian, tidur, terjaga, berbuat salaha, benar dan sebagainya, meski ia sendiri mengatasi segalanya. Ketika roh memasuki badan jasmani, menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh roh itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni awidya, asmita, raga, dwesa dan abhinewesa.
Selama adanya perubahan dan kegoncangan pada citta, selama itu pula Roh terpantulkan pada perubahan-perubahan itu.  Perlu adanya vivekajnana agar roh tidak menyamakan dirinya dengan roh yang dialami citta.
Ajaran filsafat Yoga menjelaskan ketika indrya menerima suatu obyek di luar dirinya tanpa menentukan suatu wujud terhadap yang diterima itu, maka penerimaan melalui pengamatan itu disampaikan kepada manas.

4.      Pramana
Sebagaimana halnya dengan ajaran filsafat Samkhya, ajaran filsafat Yoga pun dalam pandangan epistimologinya memanfaatkan tiga pramana untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Ketiga Pramana itu adalah Pratyaksa pramana (persepsi), anumana Pramana (Interferensi), dan Sabda Pramana (Testimony ferbal). Pengamatan yang dilakukan melalui persepsi sama dengan yang dilakukan oleh ajaran filsafat Samkhya, yakni Nirvikalpa (persepsi tidak pasti yakni pengamatan yang tidak menentukan) dan Savikalpa (persepsi yang pasti atau menentukan). Kedua pengamatan ini akan memberikan hasil yang berbeda. Ajaran Yoga menjelaskan ketika Indrya menerima suatu objek dari luar dirinya tanpa menentukan suatu wujud terhadap yang diterima itu maka penerimaan melalui pengamatan itu disampaikan kepada manas. Kemudian dari pengamatan-pengamatan itu disusun dan menetukan sifat-sifat pengamatan itu, apakah ia Nirvikalpa atau Savikalpa.

5.      Pandangan Tentang Tuhan
Menurut Patanjali Tuhan merupakan Purusa istimewa atau Roh Khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih Kemaha Tahuan, yang tak terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para bijak jaman dahulu (Maswinara, 1999 : 164).
Selain itu, Patanjali juga komentatornya berpandangan Tuhan bukan saja terkonsep dalam penciptaan tetapi juga dalam praktek, dalam pemahaman tentang keberadaan-Nya, yakni melalui tahapan-tahapan pelatihan Yoga. Oleh karena itu filsafat Yoga selain theis, ia juga bersifat teoritis dan praktis.
Untuk membuktikan pandangannya tentang eksistensi Tuhan dan ajarannya yang theis, Patanjali mengemukakan argumentasinya sebagai berikut :
1)      Ia percaya adanya tingkatan di dunia ini, misalnya ada sesuatu yang baik, ada yang lebih baik, dan yang paling baik dan yang paling sempurna.
2)      Hal ini tidak bertentangan dengan pernyataan kitab suci Veda, upanisad dan kitab suci lainnya, bahwa Tuhan dipandang sebagai jiwa Yang Maha Agung, sempurna, realitas yang utama dan menjadi tujuan terakhir dari segala yang ada di dalam alam semesta ini.
3)      Memang benar ada Purusa dan Prakerti. Dua azas ini ibarat orang buta dan orang lumpuh. Pertemuan dua azas ini  memerlukan pembimbing, penghubung, perantara, yang tiada lain adalah Tuhan, sehingga terwujud alam semesta.
Dengan argumentasi ini, maka Patanjali bukan saja ingin membuktikan keberadaan Tuhan melalui teori ajaran filsafatnya, tetapi juga melalui pratek Yoga. Oleh karena itu tahapan-tahapan pelatihan Yoga dilakukan, konsentrasi utama pikiran ditujukan kepada Tuhan.

6.      Astangga Yoga
Untuk mencapai tujuan Yoga, yakni Kelepasan ( Moksa), maka Patanjali dalam bukunya Yogasutra menjelaskan adanya beberapa langkah yang harus ditempuh, yang disebut Astanggayoga. Yoga Patanjali mengajarkan disiplin Astangga Yoga yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Hatta Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan fisik dan mengatur pernapasan. Bila gerakan pernapasan dihentikan dengan cara kumbhaka, pikiran menjadi tak tergoncang. Pemurnian badan dan pengendalian pernapasan merupakan tujuan langsung dari Hatta Yoga. Ada 6 kegiatan pemurnian badan adalah : Dhauti (pembersihan perut), Basti (bentuk alami pembersihan usus),Neti (pembersihan lubang hidung), Trataka (penatapan tanpa berkedip terhadap suatu objek), Nauli (pengadukan isi perut), Kapalabhati (pelepasan lendir melalui semacam pranayama). Serta pengendalian pernapasan merupakan tujuan penggunaan Hatta Yoga. Badan akan diberikan kesehatan kemudaan kekuatan dan kemantapan dengan melaksanakan Asana, Bandra, dan Mudra (Maswinara, 1999 : 164).
Yoga merupakan satu disiplin yang ketat, yang memberlakukan pengetahuan tentang diet, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata, berpikir. Semua itu dilakukan dibawah pengawasan yang cermat dari seorang Yogi (Guru) yang ahli memancarkan sinar kepada Jiva. Yoga merupakan disiplin rohani  dan ilmu kerohanian merupakan mata pelajaran yang amat rumit dan kompleks. Seorang yang tidak mempunyai seorang pembimbing sejati yang mengetahui segala seluk beluk alam rohani, maka seseorang tidak akan dapat masuk ke dalamnya. Yoga juga merupakan salah satu disiplin ajaran agama Hindu (Nurkancana, 1996 : 275).
Yoga merupakan suatu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Yoga juga meningkatkan daya konsentrasi, mengendalikan tingkah laku dan pengembaraan pikiran, serta membantu untuk mencapai keadaan supra sadar atau Nirvikalpa. Tujuan Yoga adalah untuk mengajarkan roh pribadi agar dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan Roh Tertinggi, yang dipengaruhi oleh Vrtti atau gejolak pemikiran dari pikiran, sehingga keadaannya menjadi jernih seperti Kristal yang tak terwarnai oleh hubungan pikiran dengan obyek-obyek duniawi.
Astangga Yoga atau Yoga dengan delapan anggota yang ditempuh melalui disiplin Yoga adalah :
1)      Yama (larangan) dan Niyama (Ketaatan). Pelaksanaan yama dan niyama membentuk disiplin etika yang mempersiapkan para siswa Yoga untuk melaksanakan Yoga yang sesungguhnya.
Perincian Patanjali terhadap Yama :
(1)   Ahimsa atau tanpa kekerasan
(2)   Satya yaitu kejujuran atau kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
(3)   Asteya atau pantang mencuri atau menginginkan milik orang lain.
(4)   Brahmacarya atau pembujangan dalam pikiran, perbuatan dan perkataan.
(5)   Aparigraha atau pantang kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan
 Kelima pantangan atau di patuhi, tanpa alasan pengelakan  berdasarkan Jati (kedudukan pribadi), desa (tempat kediaman), Kala (usia dan waktu) dan samaya (keadaan). Patanjali mengatakan bahwa ketaatan kepada kelima Yama itu diwajibkan serta dipertahankan dalam tiap keadaan dan merupakan kode etik Universal  (Sarvabhauna Mahavrata)  yang tak dapat diselewengkan dengan bermacam-macam dalih (Maswinara, 1999 : 165).
Perincian Patanjali terhadap Niyama adalah :
(1)   Sauca atau kebersihan lahir batin dan menganjurkan kebajikan seperti Sattva Buddhi, Saumanasya (hati senang), Ekagrata (Pemusatan buddhi), Indriyajaya (pengendalian nafsu-nafsu) dan Atmadarsana ( realisasi diri).
(2)   Santosa atau kepuasan untuk memantapkan mental.
(3)   Tapa atau berpantang (pengetatan diri).
(4)   Swaddhyaya atau mempelajari naskah-naskah suci.
(5)   Isvarapranidhana atau penyerahan diri kapada Tuhan.
2)      Asana merupakan sikap badan yang mantap dan nyaman, yang merupakan bantuan secara fisik dalam berkonsentrasi.
3)      Pranayama atau pengaturan nafas,akan memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran dan kesehatan yang baik.
4)      Pratyahara adalah pemusatan pikiran dengan penarikan indrya-indrya dari segala obyek luar.
5)      Dharana merupakan pemusatan pikiran yang mantap pada suatu obyek tertentu.
6)      Dhyana merupakan pemusatan terus menerus tanpa henti terhadap obyek atau sering disebut meditasi.
7)      Samadhi adalah pemusatan pikiran terhadap obyek  yang intensitas konsentrasi sedemikian rupa sehingga menjadi obyek itu sendiri, dimana pikiran sepenuhnya bergabung dengan penyatuan dalam obyek yang bermeditasi. Dalam Samadhi , seorang Yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari luar, dari pikiran kehilangan fungsinya, dimana indria-indria terserap ke dalam pikiran. Apabila semua perubahan pikiran terkendalikan, si pengamat atau Purusa, terhenti dalam dirinya sendiri yang di dalam Yoga Sutranya Patanjali disebutkan sebagai Svarupa Avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang sesungguhnya).
Ada 2 jenis tingkatan konsentrasi atau Samadhi yaitu Samprajnata Samadhi atau konsentrasi sadar, dimana ada obyek konsentrasi yang pasti dan pikiran tetap sadar akan obyek tersebut dan Asamprajnata Samadhi, dimana perkeadaan antara obyek yang dimeditasikan dan subyek menjadi lenyap dan terlampaui (Maswinara, 1999 : 166 -167). Ada 4 macam Samprajnata Samadhi menurut jenis obyek renungan yaitu : Savitarka adalah bila pikiran itu terpusatkan pada suatu obyek benda kasar seperti arca Deva atau Devi, Savicara adalah bila pikiran itu terpusat pada suatu obyek yang halus atau tidak nyata seperti Tan Matra, Sananda adalah bila pikiran itu terpusat pada suatu obyek yang halus seperti rasa indryanya, dan Sasmita adalah bila pikiran itu dipusatkan pada Asmita yaitu anasir rasa aku yang biasanya roh menyamakan dengan ini (I Gusti Made Ngurah, 1999 : 125).



KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran Yoga merupakan praktek dari ajaran Samkhya dalam kehidupan nyata. System Yoga mirip dengan system Samkhya, idenya didasarkan pada dvaita (dualitas) yaitu melihat alam semesta sebagai subjek-objek dan tidak berbicara mengenai satu tuhan yang berpribadi.
Adapun Kesusastraan dan Ajaran dari Yoga ini yiatu :
Kesusastraannya yaitu kitab Yogasutra karya Maharesi patanjali, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Ajaran Yoga sebenarnya sudah terdapat didalam kitab suci Sruti maupun Smrti, demikian pula dalam Itihasa dan Purana. Bernard mengatakan bahwa YogaSutra terdiri dari 4 Bab. Bab 1 yaitu Samadhipada  yang mengemukakan tentang sifat dasar dan tujuan Samadhi. Inilah teori atau ilmu pengetahuan Yoga. Bab II Sadhana Pada, membicarakan tentang Seni Yoga, dan sekaligus pula menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan tersebut (Samadhi). Bab III yang disebut dengan Vibhuti Pada,memberikan uraian tentang kekuatan (daya-daya) supra alami yang dapat dicapai melalui pelatihan Yoga. Sedangkan pada Bab IV disebut dengan Kaivalya Pada, membicarakan tentang pembebasan sebagai tujuan akhir manusia (Maswinara, 1999 : 164).
Yoga mengajarkan tentang :
1.      Penciptaan Alam Semesta
2.      Citta dan Guna
3.      Hubungan Roh dengan Citta
4.      Pramana
5.      Astangga Yoga


12

 

DAFTAR PUSTAKA
Ngurah, I Gusti Made, dkk. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Paramita : Surabaya.
Nurkancana, Wayan.1995.Tuhan Jiwa Alam Semesta Menurut Sad Darsana. Yayasan Dharma Naradha: Denpasar.
Maswinara, I Wayan.1999.Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Paramita: Surabaya.



TUGAS DARSANA II
KESUSASTRAAN DAN AJARAN-AJARAN
YOGA DARSANA
Dosen Pengampu :
Ketut Bali Sastrawan, S.Ag. M.Pd.H.
                                                                      
Oleh :
Kelompok 1 : PAH A
1.     I Gd Wira Nusa Saputra              10.1.1.1.1.3858
2.     I Gede Ngurah Swastawa             10.1.1.1.1.3860
3.     Putu Indra Suartawan                 10.1.1.1.1.3861
4.     Ni Made Anggra Wahyuni          10.1.1.1.1.3862      
5.     Ni Putu Wahyu Putri Pratami     10.1.1.1.1.3863
6.     Gede Surya Adnyana                   10.1.1.1.1.385


INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
2012
Pembangun ajaran yoga darsana adalah Resi Patanjali. Artinya, Resi Patanjali menggali ajaran yoga ini dari Weda Sruti itu. Nama karya Resi Patanjali ini adalah yoga sutra. Pustaka ini merumuskan ajaran yoga dalam adyaya I.1 sbb.:

Yogascitta vrtti nirodhah artinya yoga adalah pengendalian gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran. Pustaka Yoga Sutra ini dibagi menjadi empat adyaya (bab) terdiri dari 194 sutra (syair suci). Adyaya pertama mengajarkan teori yoga, kedua mengajarkan tentang praktik yoga, ketiga mengajarkan tentang cara mencapai tujuan yoga, dan keempat mengajarkan tentang kelepasan atman dan menyatu dengan brahman. Ini artinya, untuk mencapai pengendalian gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran, seyogianya menempuh empat adyaya dari ajaran yoga sutra tersebut.

Untuk mewujudkan ajaran yoga itu, Pustaka Yoga Sutra II.29 menyatakan ada delapan tahapan untuk mencapainya. Delapan tahapan itu disebut astangga yoga yaitu yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana dan samadhi. Mendalami yoga semestinya melalui enam tahapan itu secara seimbang. Dalam kehidupan empiris, masih banyak yoga itu dipahami seagai kegiatan asana dan pranayama saja, melatih sikap fisik dan pernafasan saja. Hal inilah yang paling populer disebut yoga.

1 komentar: