CERITA MENGENAI RAJA PARIKESIT
Saat Maharaja
Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut
serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra.
Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan
secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.
Pada
pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama
bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata
Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk
mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar
senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh
Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali.
Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.
Rsi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit
lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu dan semenjak ia
diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan di kenal sebagai Vishnurata (orang
yang selalu dilindungi oleh sang Dewa).
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru,
maka disebut juga Kuruwang. Pada suatu hari, beliau berburu kijang
ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak. Karena Ia
kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya
ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan
Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana
buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata
saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah
dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher
Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada
putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.
Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit
leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit
akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan.
Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja
yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti
berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. Ia mengutus muridnya untuk
memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan
tersebut dan memilih untuk berlindung.
Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan
perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura
sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh
prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka
menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan
kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat
setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.
Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan
tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki
kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan
puteri dari Kerajaan
Kasi, bernama Bhamustiman. Raja
Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap
musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa
Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang
benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian
ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para
patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan
ular untuk membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala
kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu
proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka
menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika
untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu
pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon
agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas
kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika
mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara
tersebut.
Maharaja Janamejaya
yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya,
sekaligus kisah Pandawa
dan Korawa
yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana
disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar
keluarga Bharata
atau Mahābhārata.
Sesuai keinginan Raja Janamejaya,
Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah
sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang
di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja.
Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa
dan Korawa.
Saat Maharaja
Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut
serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra.
Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan
secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.
Pada
pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama
bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata
Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan
senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut
diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh
Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali.
Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.
Parikesit menikahi Madrawati, dan
memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya
diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya
menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna.
Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra
bernama Aswamedhadatta.
Kajian :
Dari cerita di atas, ada beberapa
nilai pendidikan yang dapat kita ambil yaitu :
1.
Kita
sebagai umat Hindu mengenal adanya lima keyakinan atau yang sering disebut
dengan Panca Sradha. Panca Sradha terdiri dari Widhi Sradha, Atma Sradha, Karma
Phala Sradha, Punarbhawa Sradha dan Moksa Sradha. Dalam Cerita ini ada ada
keyakinan terhadap adanya hokum karma phala, yaitu pada saat Raja Parikesit
mengalungkan ular ke leher Bhagawan Samiti. Akibat dari perbuatannya (karmanya)
itu, akhirnya Raja Parikesit mendapatkan kutukan akan meninggal akibat digigit
oleh ular.
2.
Jangan
pernah mengucapkan/melontarkan kata-kata yang tidak baik (kutukan) pada saat
kita marah, karena hal tersebut akan berakibat tidak baik. Dalam cerita ini
terlihat pada saat Sang Srenggi mengutuk Raja Parekesit dan saat itu Sang
Srenggi dalam keadaan marah. Bila kita kaitkan dengan kehidupan sekarang,
misalnya pada saat seorang ibu marah kepada anak. Jangan sesekali seorang ibu
melontarkan kata-kata kutukan kepada anaknya, karena apa yang kita katakana
akan bisa menjadi kenyataan. Seperti pepatah mengatakan perkataan adalah doa, apalagi itu adalah perkataan seorang ibu. Disini juga terlihat ajaran Tri
Kaya Parisudha yaitu bagian Wacika Parisudha. Hati-hatilah kita mengucapkan
kata-kata, karena perkataan lebih tajam dari sebuah pisau.
3.
Dalam
cerita ini juga terkandung ajaran mengenai Sad Ripu, yaitu bagian Krodha
(kemarahan). Ajaran ini terlihat pada saat Raja Parikesit tidak bisa menahan
amarahnya, karena apa yang dia tanyakan tidak di jawab oleh Bhagawan Samiti.
Yang mengakibatkan Raja Parikesit marah, lalu mengalungkan ular ke leher sang
Bhagawan.
.
CERITA SANG JARATKARU
Tersebutlah seorang pertapa sakti yang
baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji
butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya
dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para
Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan istri,
malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan.
Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan
masuk ke segala tempat yang ia kehendaki. Suatu hari, ia
beerziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surge dan neraka, dimana
leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surge atau masuk neraka.
Ketika berziarah ke Ayatanasthana, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah
buluh petung, mukanya tertelungkup , kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah
jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh
tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang
itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang-linang air
matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun
mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal,
berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya.
Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur
itu, “Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus
oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?” seru
Sang Jaratkaru.
Leluhur itu pun menjawab, “Keadaan saya
seperti ini adalah karena keturunan kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah
dengan dunia leluhur dan bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk
neraka.” “Ada seorang keturunanku bernama Jaratkaru, ia pergi berkeinginan
melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak beristri, karena menjadi seorang
brahmacari dari kecil. Itulah yang menyebabkan saya berada dibuluh ini, karena
brata semadhinya kepada asrama sang pertapa” kata sang leluhur itu. “Kalau
engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kepada Sang Jaratkaru supaya
memiliki keturunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur.”
Sang Jaratkaru tersayat hatinya melihat
leluhurnya menderita susah. “Saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang
keturunanmu yang gemar bertapa dan bertekad menjadi brahmacari. Apapun kalau
itu menjadi jalanmu untuk kembali ke sorga, janganlah khawatir, saya akan
menghentikan kebrahmacarian saya dan mencari anak istri. Yang saya kehendaki
istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tiada bertentangan dalam
perkawinan. Bila sudah mempunyai anak, akan menjadi brahmacari lagi, senanglah
hatimu.”
Demikianlah kata Sang Jaratkaru,
pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru,
tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya.Karena tidak tahu harus
berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat
menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia
sambil mengeluh kepada semua Dewata.
Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai
segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang
brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar
saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.”
Tangis Sang Jaratkaru itu
terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan
memberikannya adiknya Sang Naga Nagini yang diberi nama Jaratkaru supaya
berputra seorang brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular
(yadnya sarpa).
Akhirnya
Sang Jaratkaru pun beristri Jaratkaru yang akan memberikannya putra dan
membebaskan roh leluhurnya dari kesengsaraan.
Kajian
:
Dari
cerita Jaratkaru di atas dapat diambil beberapa nilia pendidikan yaitu :
1.
Dalam ajaran Agama Hindu kita mengenal
adanya empat jenjang kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama. Catur Asrama
terdiri dari Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha, dan Bhiksuka. Dalam cerita ini
Jaratkaru tidak mengikuti yang namanya tahapan-tahapan dari Catur Asrama ini.
Dimana Jaratkaru langsung mencapai yang namanya tahapan Bhiksuka. Setelah mengalami
Bhiksuka, Jaratkaru baru melakukan yang namanya tahapan Grhasta (masa berumah
tangga).
2.
Dalam cerita ini juga terdapat ajaran
Tri Rna yaitu tiga hutang yang kita punyai. Tri Rna terdiri dari Dewa Rna,
Pitra Rna, dan Rsi Rna. Disini kita sebagai anak harus membayar hutang kepada
orang tua/leluhur kita (Pitra Rna). Seperti dalam cerita Jaratkaru, tugasnya
Jaratkaru adalah membayar hutang yang dia punya kepada orang tuanya. Salah satu
cara kita membayar hutang adalah dengan cara melanjutkan keturunan keluarga
kita. Disini juga ada rasa Bhakti Jaratkaru kepada orang tuanya. Kebhaktian
tersebut dapat kita ambil dari, keturutan Jaratkaru untuk menikah meskipun dia
telah mencapai tahap bhiksuka, agar dapat menyelamatkan orang tuanya dari
siksaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar