Rabu, 01 Januari 2014

Cerita Itihasa




CERITA MENGENAI RAJA PARIKESIT

Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.
Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.
Rsi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan di kenal sebagai Vishnurata (orang yang selalu dilindungi oleh sang Dewa).
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwang. Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak. Karena Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.
Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. Ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.
Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.
Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.
Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.
Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta.

Kajian :
Dari cerita di atas, ada beberapa nilai pendidikan yang dapat kita ambil yaitu :
1.      Kita sebagai umat Hindu mengenal adanya lima keyakinan atau yang sering disebut dengan Panca Sradha. Panca Sradha terdiri dari Widhi Sradha, Atma Sradha, Karma Phala Sradha, Punarbhawa Sradha dan Moksa Sradha. Dalam Cerita ini ada ada keyakinan terhadap adanya hokum karma phala, yaitu pada saat Raja Parikesit mengalungkan ular ke leher Bhagawan Samiti. Akibat dari perbuatannya (karmanya) itu, akhirnya Raja Parikesit mendapatkan kutukan akan meninggal akibat digigit oleh ular.
2.      Jangan pernah mengucapkan/melontarkan kata-kata yang tidak baik (kutukan) pada saat kita marah, karena hal tersebut akan berakibat tidak baik. Dalam cerita ini terlihat pada saat Sang Srenggi mengutuk Raja Parekesit dan saat itu Sang Srenggi dalam keadaan marah. Bila kita kaitkan dengan kehidupan sekarang, misalnya pada saat seorang ibu marah kepada anak. Jangan sesekali seorang ibu melontarkan kata-kata kutukan kepada anaknya, karena apa yang kita katakana akan bisa menjadi kenyataan. Seperti pepatah mengatakan perkataan  adalah doa, apalagi itu adalah perkataan  seorang ibu. Disini juga terlihat ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu bagian Wacika Parisudha. Hati-hatilah kita mengucapkan kata-kata, karena perkataan lebih tajam dari sebuah pisau.
3.      Dalam cerita ini juga terkandung ajaran  mengenai Sad Ripu, yaitu bagian Krodha (kemarahan). Ajaran ini terlihat pada saat Raja Parikesit tidak bisa menahan amarahnya, karena apa yang dia tanyakan tidak di jawab oleh Bhagawan Samiti. Yang mengakibatkan Raja Parikesit marah, lalu mengalungkan ular ke leher sang Bhagawan.






.



CERITA SANG JARATKARU


Tersebutlah seorang pertapa sakti yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan istri, malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan.
            Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke segala tempat yang ia kehendaki. Suatu hari, ia beerziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surge dan neraka, dimana leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surge atau masuk neraka.
            Ketika berziarah ke Ayatanasthana, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup , kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang-linang air matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal, berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya.
Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur itu, “Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?” seru Sang Jaratkaru.
Leluhur itu pun menjawab, “Keadaan saya seperti ini adalah karena keturunan kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah dengan dunia leluhur dan bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka.” “Ada seorang keturunanku bernama Jaratkaru, ia pergi berkeinginan melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak beristri, karena menjadi seorang brahmacari dari kecil. Itulah yang menyebabkan saya berada dibuluh ini, karena brata semadhinya kepada asrama sang pertapa” kata sang leluhur itu. “Kalau engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kepada Sang Jaratkaru supaya memiliki keturunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur.”

Sang Jaratkaru tersayat hatinya melihat leluhurnya menderita susah. “Saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa dan bertekad menjadi brahmacari. Apapun kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali ke sorga, janganlah khawatir, saya akan menghentikan kebrahmacarian saya dan mencari anak istri. Yang saya kehendaki istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tiada bertentangan dalam perkawinan. Bila sudah mempunyai anak, akan menjadi brahmacari lagi, senanglah hatimu.”
Demikianlah kata Sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya.Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia sambil mengeluh kepada semua Dewata.
Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya  mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.”
 Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan memberikannya adiknya Sang Naga Nagini yang diberi nama Jaratkaru supaya berputra seorang brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular (yadnya sarpa).
Akhirnya Sang Jaratkaru pun beristri Jaratkaru yang akan memberikannya putra dan membebaskan roh leluhurnya dari kesengsaraan.

Kajian :
Dari cerita Jaratkaru di atas dapat diambil beberapa nilia pendidikan yaitu :
1.      Dalam ajaran Agama Hindu kita mengenal adanya empat jenjang kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama. Catur Asrama terdiri dari Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha, dan Bhiksuka. Dalam cerita ini Jaratkaru tidak mengikuti yang namanya tahapan-tahapan dari Catur Asrama ini. Dimana Jaratkaru langsung mencapai yang namanya tahapan Bhiksuka. Setelah mengalami Bhiksuka, Jaratkaru baru melakukan yang namanya tahapan Grhasta (masa berumah tangga).
2.      Dalam cerita ini juga terdapat ajaran Tri Rna yaitu tiga hutang yang kita punyai. Tri Rna terdiri dari Dewa Rna, Pitra Rna, dan Rsi Rna. Disini kita sebagai anak harus membayar hutang kepada orang tua/leluhur kita (Pitra Rna). Seperti dalam cerita Jaratkaru, tugasnya Jaratkaru adalah membayar hutang yang dia punya kepada orang tuanya. Salah satu cara kita membayar hutang adalah dengan cara melanjutkan keturunan keluarga kita. Disini juga ada rasa Bhakti Jaratkaru kepada orang tuanya. Kebhaktian tersebut dapat kita ambil dari, keturutan Jaratkaru untuk menikah meskipun dia telah mencapai tahap bhiksuka, agar dapat menyelamatkan orang tuanya dari siksaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar