BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Umat
Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma,
Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara
bertahap.
Tahapan
untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap
Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta
Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta
Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai Moksa.
Perkawinan
atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama.
Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan
suatu kehidupan yang disebut “Yatha Sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar
mempu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan
profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang
ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam
perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas
yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Pada tahap persiapan,
seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan,
khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil
rintangan-rintangan yang mungkin. Dalam hal ini saya akan membahas lebih jelas
mengenai perkawinan serta tujuan dari perkawinan itu menurut agama Hindu (http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara,
21/12/2012,
21 : 56).
1.2 Rumusan Masalah
1)
Apa pengertian serta tujuan dari pewiwahan/perkawinan?
2)
Bagaimana urutan prosesi upacara
pewiwahan/perkawinan?
3)
Bagaimana system perkawinan serta jenis
banten yang digunakan menurut Hindu?
4)
Apa saja syarat sah suatu perkawinan
menurut Hindu?
1.3 Tujuan Penulisan
1)
Untuk mengetahui apa itu
perkawinan/pewiwahan serta apa tujuan dari pewiwahan.
2)
Untuk mengetahui urutan upacara
pewiwahan/perkawinan.
3)
Untuk mengetahui system pernikahan serta
jenis banten yang digunakan menurut
Hindu.
4)
Untuk mengetahui syarat sah suatu
pernikahan menurut Hindu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Dan Tujuan Perkawinan/Wiwaha
1) Pengertian Perkawinan/Wiwaha
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.
Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal
katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pesta pernikahan, perkawinan.
Pengertian pawiwahan secara sistematik dapat
dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesuai dengan pedoman yang digunakan.
Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu adalah yadnya dan
perbuatan dharma. Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta
Ashram yaitu tahapan kehidupan berumah tangga. dalam adat Hindu di Bali
merupakan upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut
lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut „Yatha
sakti Kayika Dharma“ yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma.
Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma secara
profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh
jenjang perkawinan.
Wiwaha adalah ikatan suci dan komitment
seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan ikatan sosial yang paling kuat
antara laki laki dan wanita. Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk
meningkatkan perkembangan spiritual. Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa,
yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali agar menjadi manusia yang
seutuhnya karena di antara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Wiwaha
harus berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi
dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling
bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah.
Pawiwahan atau Pernikahan
adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan
telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sarana Pawiwahan berupa Segehan
cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan
(air tawar, tuak, arak), Padengan-dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan
(tikar kecil yang dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu,
cabang kayu dadap yang ujungnya berisi periuk, bakul yang berisi uang), Bakul,
Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang
putih.
Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena
sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu: Bhuta saksi (upacara mabeakala), Dewa
saksi (upacara natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah pamerajan), dan
Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/
undangan lainnya). Manusa saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta
Perkawinan,Sesuai dengan Undang-Undang
No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan
Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang
dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas
catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu
agar mempunyai kekuatan hukum.
Adapun makna dan lambang dari perkawinan/pawiwahan adalah :
(1) UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya
suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu,
melalui proses upacara agama yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten),
biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman
rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari”
sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal
dari kata “kala” yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama
yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh
kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam “sebel kandel”.
(2) Dengan upacara mekala-kalaan sebagai
sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi
kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi
dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala
Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan
perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih
yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki
dan wanita (ovum) dari pengantin wanita. Peralatan upacara Mekala-kalaan adalah
sebagai berikut :
Adapun jenis dari pernikahan atau pewiwahan yaitu : Dalam
Kitab Suci Hindu Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:
(1) Brahma
Wiwaha:
perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria
yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa
Dharmasastra Bab III.27)
(2) Dewa
Wiwaha: orang
tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya.
(Manawa Dharmasastra Bab III.28)
(3) Arsa
Wiwaha: orang
tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material)
kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
(4) Prajapatya
Wiwaha:
perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga
wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
(5) Asuri
wiwaha adalah
bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih
dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
(6) Gandharwa
wiwaha:
perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang
tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)
(7) Raksasa
Wiwaha adalah
bentuk perkawinan dimana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan.
Bentuk perkawinan ini dilarang.
(8) Paisaca
wiwaha adalah
bentuk perkawinan bila seorang laki-laki dengan diam-diam memperkosa gadis
ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini
dilarang
2)
Tujuan Perkawinan/wiwaha
(1)
Tujuan
pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin.
Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
(2) Unsur material adalah tercukupinya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).
(3) Unsur non material adalah rasa
kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang
antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri
keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
Kitab
Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha meliputi:
(1)
Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan
merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai
dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan:
Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur
Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa,
yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna
dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin.
Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat
melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma
sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai
anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
(2) Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan
keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka
roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan /
pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan
untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia.
Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas
melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka
dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan
bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan
yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari
kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal
kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra
artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di
masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan
dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai
makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita
berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
(3) Rati yang berarti pernikahan adalah
jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan
kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan
dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi
menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai
diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia),
laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat
menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur
panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang
seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah
Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna
memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka
memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
“Ri
sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha
asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma
pahalaning dadi wang”
artinya:
dari
demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu
saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk
ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma
sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna.
Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang
sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat
dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan
melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana
di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban
antara suami dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya
(suami-istri) haruslah saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya
serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni”
berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling
memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda
tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan
mudah dapat dilaksanakan.
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga
sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan
berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah
menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap
pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan
dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan
proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat
Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96
sebagai berikut:
“Prnja
nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat
sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan
untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu
ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam
agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1
yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk
keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu
sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya
sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut
disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa
dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya
supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha
nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha
nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya
melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” .
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama
Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar
perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi
pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka
kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam
kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto
bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa
kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada
keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri
terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu
adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan
seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di
dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa) (http://binginbanjah.wordpress.com/2011/02/19/pernikahan-menurut-pandangan-hindu/,
21/12/2012, 21 : 59).
2.2 Urutan Prosesi
Perkawinan/Pewiwahan
Urutan upacara Pernikahan meliputi :
Upacara di rumah pengantin wanita :
1) Masewaka/Malamar
2) Madik/Meminang
3) Mabeakala
4) Mapamit di merajan/sanggah
Upacara di rumah pengantin lelaki :
1) Mareresik
2) Mapiuning di Sanggar Surya
3) Upacara Suddhi-wadhani
4) Mabeakala
5) Mapadamel
6) Matapak oleh kedua orang tua
7) Majaya-jaya
8) Ngaturang ayaban
9) Natab peras sadampati
10) Pemuspaan
11) Nunas wangsuhpada/bija
2.3
Sistem Perkawinan serta Jenis Banten
yang Digunakan
1) Sistem Perkawinan
Adapun Sistem pawiwahan Menurut agama
Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan
sebagai berikut:
(1) Brahma wiwaha adalah bentuk
perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria
ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
(2) Daiwa wiwaha adalah bentuk
perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang
pendeta pemimpin upacara.
(3) Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang
terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki
dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
(4) Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan
menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua
mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu
dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
(5) Asuri wiwaha adalah bentuk
perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia
memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
(6) Gandharva wiwaha adalah bentuk
perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut
campur walaupun mungkin tahu.
(7) Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si
pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
(8) Paisaca wiwaha adalah bentuk
perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur
atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
2) Jenis Banten yang
Digunakan
(1)
Banten Pedengen-dengenan (pekala-kalaan) yang terdiri dari :
Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikatannya telur itik
yang direbus, tipat kelanan, sesayut pengambeyan, penyeneng, tulung, sanggah
urip, pemugbug, (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sesayut, raka-raka
dan lauk-pauk), untek 7 buah (dialasi dengan taledan dilengkapi dengan
raka-raka dan lauk-pauk), solasan 22 tanding, penek warna 5 dialasi daun
telunjungan ikannya olahan ayam brumbun, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh
diatasnya dilengkapi kewangen. Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan,
prayascita, lis, gelar sanga, tetabuhan dan beberapa perlengkapan seperti
(Agastya, 2000 : 239) :
a.
Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu
lalung dan disebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem.
Sanggah Surya merupakan niyasa (symbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal
ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang
Semara Ratih.
Biyu lalung adalah symbol kekuatan purusa dari Snag Hyang
Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya,
sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan symbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem symbol kekuatan prakertinya Sang Hyang
Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta
kebijaksanaan symbol pengantin wanita.
b.
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
simbol calon pengantin, yang
diletakkan sebagai alas upakara makala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon
pengantin.
c.
Tikeh Dadakan (Tikar Kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh
pengantin wanita sebagai symbol selaput dara dari wanita. Kalau dipandang dari
sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai symbol kekuatan Sang Hyang
Prakerti (kekuatan Yoni). Tikeh ini adalah symbol kesucian si gadis.
d.
Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang
Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang
dari sisi spiritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
e.
Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang
putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu,
serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap
setinggi 30 cm. angka 12 berarti symbol dari sebel 12 hari, yang diambol dari
cerita dihukumnya pendawa oleh Kuruwa selama 12 tahun. Dengan upacara
makala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kendalan menjadi sirna
dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai
symbol dari lapisan kehidiupan berarti sang pengantin telah siap untuk
meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju Grhasta Asrama.
f.
Tegen-tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan symbol
dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Perangkat
tegen-tegenan :
a)
Batang
tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas
demi ruas, secara manis.
b)
Cangkul
sebagai symbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja berkarma berdasarkan
Dharma.
c) Periuk symbol windhu.
d) Buah kelapa symbol brahma (Sang
Hyang Widhi).
e) Seekor yuyu symbol bahasa isyarat
memohon keturunan dan kerahayuan.
g.
Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang
dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras, dan bumbu-bumbuan
melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami,
diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil
berkembang menjadi besar.
h.
Dagang-dagangan
Melambangkan
kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung
segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar
penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
i.
Sapu Lidi (3 lebih)
Symbol
Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain,
isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan
kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik, dan
pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan
dan kehidupan rumah tangga.
j.
Sambuk Kupakan atau Kala Sepetan
Serabut
kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup
kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut
kelapa dibelah tiga symbol dari Tri guna (satwam, rajas dan tamas). Benang
Tridatu symbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek symbol manic. Mempelai saling tending serabut kelapa sebanyak tiga
kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila
mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di
masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri,
agar kekuatan Tri Guna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kelapa ini
diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
k.
Tetimpug
Bambu
tiga batang yang di bakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan
dari Sang Hyang Brahma.
Setelah
upacara makala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri hal itu
disebut dengan “angelus wimoha” yang berarti melaksanakan perubahan nyomia
bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara
Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra.
(2) Carun Patemon yang terletak di jalan
Nasi
dialasi bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung
dengan “upih” (daun), dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah canang buratwangi,
sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Hyang Bhuta Hulu
Lembu, Sang Bhuta Harta dan Sang Bhuta Kilang-Kilung.
(3) Carun Patemon yang terletak di atas
pintu
Nasi
takilan ikannya darah mentah dialasi limas (tangkih, bawang, jae, dan garam.
Banten ini dihaturkan kehadapan : Sang Bhuta Pila-Pilu, SangHyang Sasarudira,
SangHyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga-ulung dan Kaki Rangga
tan kewuh.
(4) Banten Pejati (Jauman)
Peras,
ajuman, daksina, suci ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kukus,
dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau,
gambir, rantasan-saparadeg, kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng
lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian
diserahkan kepada orang tua si gadis (Agastya, 2000 : 240).
2.4 Syarat Sah suatu Perkawinan menurut Hindu
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab
Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon
pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
1) Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan
harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin
kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan
paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah
meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan
darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang
harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara
golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui,
tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan
bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
2) Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut
tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
Minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka
diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut
dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun
seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal
bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon
suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun
setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat
dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat
untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun,
sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen
Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
3) Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11
Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan
harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada
hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan
upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda,
keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit
wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
4) Selain itu persayaratan administrasi
untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain:
surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul,
surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan
baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan
domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu
Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu
dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi
oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair
nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah
pretya ceha ca”
“Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya
dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara
kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala
dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia”.
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara )
tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam
masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu
dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun
temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara
dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat,
maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut
dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma
manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam
sukham”
“Karena
orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti
adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah
meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”.
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab
suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon
pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu
dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60
dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara,
sebagai berikut:
(1)
Sapta
pada (melangkah tujuh langkah kedepan)
simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam
berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya
menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
(2)
Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan
adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat
untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa
( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada
masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
(3)
Laja
Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti
untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
(4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya
dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab
suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña
tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya
sebagai pajangan biasa.
(5)
Lascarya
artinya suatu yajña yang
dilakukan dengan penuh keiklasan.
(6)
Sastra artinya suatu yajña harus
dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal
ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
(7)
Daksina artinya
adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang
dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
(8)
Mantra
artinya dalam pelaksanaan upacara yajña
harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
(9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara
yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
(10) Nasmita artinya suatu upacara yajña
hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
semua penjelasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagi berikut :
1) Pengertian
pawiwahan secara sistematik dapat dipandang dari sudut yang
berbeda-beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan
tersebut antara lain: menurut Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian
perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa.
2) Tujuan wiwaha menurut agama
Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan
menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang
bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
3) Urutan Prosesi perkawinan meliputi
upacara di rumah pengantin wanita (masewaka/malamar, madik/meminang, mabeakala,
mapamit di merajan/sanggah) dan upacara dirumah pengantin lelaki (mareresik,
mapiuning di sanggar surya, upacara suddhi-wadhani, mabeakala, mapadamel,
matapak oleh kedua orang tua, majaya-jaya, ngaturang ayaban, natab peras
sadampati, pemuspaan, nunas wangsuhpada/bija).
4) System perkawinan menurut Hindu
dalam kitab Manava Dharmasastra III.21 bentuk perkawinana meliputi Brahma
wiwaha,Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, prajapatya wiwaha, Asuri wiwaha, dan
Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, Paisaca wiwaha. Adapun jenis banten dalam
perkawinan yaitu Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan), carun patemon yang
terletak di jalan, carun patemon yang terletak di atas pintu, dan banten pejati
(Jauman).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar